Pendewasaan Umat dengan Maulid Nabi

Enam tahun silam, ketika Ibu Irena Handono mengisi ceramah dalam pembekalan intensif siswa akhir di ma’had kami, beliau bertanya; “Kalau boleh tahu, tahun ini, tahun berapa hijriyah ya?” seluruh siswa di auditorium membisu-paku, semuanya tengok kanan-kiri saling bertanya kebingungan, menggaruk kepala yang tidak gatal sambil cengengesan.

Lalu Ibu Irena kembali bertanya; “Kalau boleh tahu lagi, tanggal 12 Februari itu hari apa ya?” kontan seluruh siswa menjawab serentak “Valentineee…” ibu Irena kemudian tersenyum lebar, sebuah senyum iba yang menandakan keprihatinan beliau akan keadaan kami yang waktu itu tidak tahu tentang tahun hijriyah, tidak peduli terhadap identitas diri sendiri, sekaligus tidak bangga dengan peradaban yang dimiliki.

Dalam ceramahnya pula, Ibu Irena membeberkan bahwa sampai kapanpun umat Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti millah mereka. “Millah” yang dimaksud beliau adalah agama, namun jika seorang muslim tidak dapat murtad dari agamanya secara mutlak, maka setidaknya “millah” tersebut berganti menjadi pola hidup dan pola pikir. Tidak masalah jika seorang muslim tetap beragama Islam, namun yang penting gaya hidup mereka, style dan world-view mereka berkiblat kepada millah Yahudi dan Nasrani.

Gempuran terhadap peradaban Islam kini semakin gencar, tak ayal jika anak-anak lebih mengidolakan Spiderman daripada Umar ibn Khattab, tak heran jika perayaan tahun Masehi lebih meriah dibanding tahun Hijriyah, dan jangan kaget jika kematian seorang pendeta kafir bernama Valentine lebih dikenal dan bahkan dirayakan daripada kelahiran seorang Rasul paling mulia bernama Muhammad ibn Abdullah.

Pergulatan dengan Yahudi dan Nasrani memang tak kunjung usai, mungkin jelas bahwa mereka kini telah mendominasi dunia dan umat Islam kini layaknya susu sebelanga yang diwarnai oleh setitik nila, banyak namun tiada kuasa. secara tidak sadar kita telah tergiring sejengkal demi sejengkal mengikuti millah mereka. Namun yang lebih memprihatinkan lagi, kenapa kita malah sibuk mengurusi masalah-masalah yang sepele, di tengah keadaan kita yang kini terkepung dari segala penjuru ini kenapa kita malah menciptakan “gaduh dalam?”

“Kegaduhan” dalam tubuh umat Islam selalu saja diawali dengan perbedaan pendapat, perbedaan itulah yang nantinya akan terus membesar jika orang-orang yang berikhtilaf tersebut tidak memiliki kelapangan dada dalam menerima argumen yang lain. Satu dari ratusan permasalahan khilafiyah yang terlalu dibesar-besarkan dan menyebabkan jurang pemisah antara umat Islam adalah perkara Maulid Nabi.

Hari kelahiran Rasulullah pada 12 Rabi’ al-Awwal –sebagaimana pendapat Jumhur– itu belakangan hari diperdebatkan tentang statusnya, sebagian orang mengatakan bahwa memeringati Maulid Nabi hukumnya haram, karena merupakan bid’ah dan Rasul tidak pernah memerintahkannya, sebagian lain mengatakan Maulid Nabi merupakan adat yang boleh-boleh saja, karena segala sesuatu asalnya mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Maulid Nabi sejatinya bukanlah hal baru, para ulama shalih semenjak ratusan tahun silam telah memperdebatkan hal ini, dan masing-masing berargumen dengan dalil syar’i yang ilmiah.

Imam Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa-nya, Rasyid Ridha dalam al-Mannar-nya, Ibn Baz, Syaikh Ibn Utsaimin dan Syaikh al-Albani adalah beberapa ulama yang berpendapat bahwa Maulid Nabi adalah bid’ah, dengan dalil bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkannya dan para sahabat juga tidak melaksanakannya.

Akan tetapi apa itu definisi bid’ah? Apakah bid’ah yang dimaksud dalam ibadat atau adat? Lalu apakah semua “yang baru” disebut bid’ah? Dan apakah bid’ah itu semuanya dhalalah (sesat)? Imam Nawawi –salah satu pembesar ulama Syafi’i– dalam Syarh Shahih Muslim-nya ketika menjelaskan hadits ke-867 menerangkan bahwa bid’ah itu dibagi 5; wajibah, mandubah, muharramah, makruhah dan mubahah. Oleh karenanya, bid’ah yang sesat dalam ibadah adalah yang tidak memiliki landasan syar’i dari Qur’an maupun Sunnah.

Lalu mufti Mesir Syaikh Ali Jum’ah dalam kitab al-Kalim al-Thayyib juga mengatakan bahwa praktik Maulid memiliki landasan dalam Sunnah, yaitu ketika Rasul ditanya seorang sahabat tentang puasa hari Senin beliau menjawab “Hari itu, hari dimana aku dilahirkan..” (lih: Shahih Muslim hadits-1162). Dan bahkan Abu Lahab –yang diabadikan kekafirannya dalam surat al-Lahab– ketika mendengar kabar tentang kelahiran Rasul ia langsung memerdekakan Tsuwaibah –budaknya yang menyusui Rasul– lantaran kebahagiaannya terhadap kelahiran putra Abdullah tersebut.

Gara-gara itu pula Abu Lahab mendapat keringanan siksa neraka setiap hari Senin sebagaimana sabda Rasulullah “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan (siksa neraka) kepada Abu Lahab setiap hari Senin…” (lih: Fathul Bari 9/145). Dengan demikian peringatan Maulid dalam sebuah majelis yang mengekpresikan ungkapan rasa bahagia dan cinta terhadap Rasul tidak termasuk “sesat” karena berpondasi dalil.

Singkat kata, haflah Maulid Merupakan bid’ah mubahah yang memiliki landasan syar’i dan boleh-boleh saja, walaupun para sahabat tidak melaksanakannya itu karena kebutuhan zaman yang berbeda dengan sekarang dimana peradaban Islam kian memudar. Lihat bagaimana Khalifah Utsman ra. menambah adzan kedua dalam shalat Jumat, bagaimana Imam Syafi’i meletakkan ilmu Ushul Fikih, bagaimana imam masjidil haram mengumpulkan jamaah dalam shalat tahajjud dengan satu imam seusai tarawih, lalu apakah itu semua bid’ah dhalalah?

Apakah gara-gara orang berdzikir bersama, ziarah kubur bersama dan shalat dhuha bersama semua itu bid’ah lantaran Rasul tidak pernah melakukannya? Oh, Islam itu lapang, oleh karenanya jangan dipersempit!

Namun terlepas dari kedua pendapat tersebut, kita harus mengetahui hakekat permasalahan ini dan menempatkannya dalam ranah ijtihadiyyah furu’iyyah, karena pada dasarnya kedua pendapat memiliki dalil yang reliable dan ikhtilaf tersebut lahir sebagai konsekuensi logis dari metode ijtihad masing-masing mujtahid.

Berbeda halnya dalam permasalahan pokok agama yang telah paten, maka ini bukanlah ruang untuk berbeda pendapat, sehingga wajib hukumnya memerangi pemikiran destruktif yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu ciptaan Muhammad, mirza ghulam adalah nabi terakhir, miras itu halal, hombreng itu syar’i, haji itu bisa kapan saja, shalat itu hanya cukup dengan dzikir dan ribuan “pemikiran parasit” lainnya yang tak satu pun orang waras –apalagi ulama– pernah berpendapat seperti itu sebelumnya.

Maka sebuah tindakan yang sangat arif jika kita memaknai Maulid Nabi dari nilai-nilai generiknya yaitu dengan pembumian moral Rasulullah dalam tataran praktis sehingga keluar dari kejahiliyyahan dan bukan hanya sekedar “ritual” prosedural dengan mengadakan haflah yang diisi ceramah verbal. Walaupun toh jika “formalitas” tersebut dirasa perlu maka itu hanyalah sekedar bentuk dari maslahat mursalah dan tidak perlu berlebih-lebihan dengan mewajibkan acara tersebut untuk tetap terlaksana sehingga menyampingkan kewajiban lainnya yang lebih utama.

Akan tetapi, lebih dewasa lagi jika kita membuang khilaf tersebut dengan duduk bersama memikirkan problem umat yang kini terbengkelai; seperti mengentas kemiskinan dengan zakat, memerangi kristenisasi, memperluas wakaf untuk pendidikan pesantren, memberantas buta huruf Al-Qur’an, melerai pertikaian partai-partai Islam dan ratusan ‘PR’ besar lainnya yang lebih membutuhkan energi dan sinergi dari seluruh umat daripada potensi tersebut terbuang sia-sia hanya untuk debat-kusir masalah qunut, rakaat tarawih, tahlilan, jenggot, hisab, rukyat sampai akhirnya memicu perpecahan sehingga menjadikan umat kita semakin kekanak-kanakan.

==============

Profil Penulis :

MS. Yusuf al-Amien, Alumnus KMI Gontor, kini aktif di Misr Mahrousa Foundation di samping statusnya sebagai mahasiswa yang tengah menyelesaikan program Licence konsentrasi Hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo. E-mail : [email protected] , http://www.friendster.com/panggilakuyusuf