Belajar dari Sejarah, Antara NII, Umat Islam, dan 'Mereka'

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Dan Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (din) (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup." (QS. Al-Baqarah [2] : 217)

Belajar dari Sejarah

Majalah Time edisi 30 September 2002 menurunkan satu tulisan berjudul, ”Taking The Hard Road” di mana dibuka oleh tulisan “Indonesia menghadapi pilihan sulit menggulung kaum ekstrimis dan risikonya mendapatkan reaksi keras dari umat Islam”.

Hampir 10 tahun kemudian setelah tulisan itu, tahun 2010-2011, Kata-kata ekstrimis, terror bom, Gerakan radikal, mulai terdengar di masyarakat. Kata-kata yang dahulu baik, semakin kemari semakin bermakna negarif seperti jihad, Negara Islam, Syariat Islam, dan lainnya.

Namun, mungkin saat ini umat Islam yang semakin terdesak, seolah–olah tidak adanya antara Islam dengan ekstrimis, teroris atau bahkan seperti yang diungkapkan para orientalis, bahwa Islam itu teroris, ekstrimis, dan lainnya.

Media memulai peranan penting dalam pembentukan opini. Saat ini, isu yang digencarkan adalah tentang NII KW9, yang pada mulanya diduga ada orang yang dicuci otaknya. Namun mengapa tiba-tiba bisa menyambung kepada NII ini, di saat sebelumnya, media gencar memberitakan bom terhadap Ulil, Bom di Mesjid, Bom yang diliput, juga perampokan CIMB Niaga yang dalam diskusi-diskusi terbuka, ada saja yang mengaitkan dengan Umat Islam yang ‘ekstrimis, teroris, dll’.

Sebenarnya , tentang NII KW9 sudah lama dibahas oleh MUI Bagaimana mungkin ingin menegakan Negara Islam dengan cara yang menyalahi syariat? (syahadat ulang, membayar, tidak shalat, dll) Ini tentu sesuatu hal yang patut dipertanyakan.

Pada tahun 2002, MUI meneliti tentang NII KW9 yang ternyata diambil beberapa kesimpulan bahwa hubungan NII KW9 memiliki hubungan historis dengan Ma;had Al-Zaitun. Lalu, apakah tidak ada follow up dari pemerintah / MUI sendiri? Sehingga muncul banyak pertanyaan.

Saat ini isu tentang NII KW9 mulai dimunculkan kembali, padahal kasus ini sudah bergulir puluhan tahun, dimana terjadi desas-desus bahwa NII KW9 sengaja ‘dipelihara’ Intel untuk mengaburkan dengan NII sebenarnya yang dahulu secara sah dan resmi berdampingan dengan RI. Al Chaidar bahkan mengatakan, bahwa dalam kerjanya NII KW9 dilarang merekrut TNI dan Polri agar tidak ‘jeruk makan jeruk’. Dan muncul juga pertanyaan, kenapa baru-baru ini di blow up lagi oleh media?

Key Comboy dalam bukunya Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia menyebutkan bahwa Ali Moetopo berhasil memasukkan orangnya yang bernama Sugiyarto dalam lingkaan orang-orang Darul Islam (DI/NII-pen). Sugiyarto ini berhasil membangun hubungan dengan Danu Mohammad Hasan (komandan DI Jabar) dan pada awalnya orang-orang DI ini dimanfaatkna untuk mengejar orang–orang komunis.

Umar Abduh membenarkan dalam tulisan berjudul Latar Belakang Gerakan Komando Jihad. “Ali Moertopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII, guna menghadapi bahaya laten komunis” Ide Ali Moertopo ini selanjutnya diolah Danu M. Hasan, Tahmid Rahmat Basuki (Anak Karto Suwiryo), dan H. Ismail Pranoto.

Jadi, apa yang sebenarnya dituju oleh isu yang bergulir saat ini (NII)? Ditambah dengan adanya RUU Intelejen, dan pembahasan agama dan kekerasan yang marak di media?

Sejarah yang Kembali Terulang

Orang-orang Komando Jihad ditangkap, Undang-undang Subversif PNPS No. 11 Tahun 1963 .Sejak saat itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa makar dari kalangan Islam. Kenneth E. Ward menyatakan, rezim Orde baru (yang dimotori oleh Jendal Ali Moertopo, Kepala Opsis/Aspri Presiden) sedari awal sudah menempatkan Umat Islam melalui Identitas dengan “Darul Islam” (NII), sehingga cenderung hendak menghancurkan Islam, sejak kasus Komando Jihad (Komji), stigma bahwa Islam merupakan agama kaum ekstrim kanan terus didengungkan oleh kelompok Ali Moerrtopo.

M. Sembodo dalam bukunya Pater Beek, Fremason, dan CIA pada hal 142 menjelaskan bahwa ada kesan yang ingin ditimbulkan dari penangkapan-penangkapan aktivis Islam.

Penangkapan ini memberikan adanya pembenaran pada Ali Moertopo bahwa telah muncul bahaya makar yang dilakukan oleh ekstrimis Islam guna memecah belah NKRI. Dengan cara ini ada dua keuntungan yang didapatkan, yaitu memberikan kesan bahwa umat Islam adalah umat yang tidak setia pada NKRI. Kedua memberikan tekanan kepada umat Islam agar tidak macam-macam dengan pemerintah.

Agar tidak dicap macam-macam, umat Islam mungkin saja harus sekuler, harus berpikir liberal, agar tidak dimusuhi oleh Pemerintah. Suatu penggiringan opini yang sangat cerdas sekali, yang akhirnya umat Islam mungkin menjadi malu dengan identitas keislamannya.

Jika kita melihat sejarah, terlihat pola sejarah masa lalu berulang kemasa kini. Jangan heran, mungkin suatu saat akan ada orang tua yang melarang anaknya mengaji, mungkin jika ada orang yang mengajak kepada Islam, orang akan curiga, ketika ada orang berdiskusi tentang Islam, akan menjauh, ketika membahas tentang Negara yang berasaskan Islam akan malu, ketika ada halaqah-halaqah beberapa orang dicurigai, ketika ada sebuah dauroh, dituduh memberontak, ketika membahas tentang politik Islam, dikaitkan dengan menggulingkan NKRI, Rohis dituduh awal mula perekrutan teroris. Rekrutmen da’i dicurigai. Akhirnya orde baru kembali terjadi. Rancangan Undang-undang Intelejen sedang dibahas di DPR. Pengawasan terhadap gerakan dakwah, penyusupan intelijen, dan sejarah berulang kembali.

BIN dapat melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensif (interogasi) paling lama 7X24 jam. Usulan itu seperti halnya masa lalu, dapat membuat mereka ditangkap, tanpa surat penangkapan, tanpa pemberitahuan, dll. Sehingga Gerakan Islam semakin terbatas geraknya. Lagi-lagi kita harus belajar dari sejarah.

Isyhadu Bi anna Muslimun

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 139)

Ketika dakwah Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dimulai, pertentangan mulai terjadi, terjadi fitnah, tuduhan, dan semacamnya. Sampai akhirnya Rasulullah shallahu alaihi wa sallam ditawari kekuasaan, tapi menolaknya, ditawari harta, wanita, tapi menolaknya, ditawari untuk saling menyembah Tuhan, tetap menolaknya, hingga diminta jangan berdakwah, dan tahun depan kafir Quraisy akan masuk Islam, ketika Rasul shallahu alaihi wa sallam mulai ragu turun firman Allah agar tidak menerima tawarannya.

Tapi, apakah dengan begitu dakwah Rasulullah shallahu alaihi wa sallam terhenti? Apakah dengan menyerang kekufuan mereka dakwah berhenti? Apakah dengan difitnah, ujian, diboikot dakwah berhenti? Apakah dengan bara’ (menolak) kepada kaum kafir dakwah terhenti? Justru dengan hal-hal di atas, Islam semakin berkembang, Islam semakin justru Islam semakin eksis.

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai” (QS. At Taubah [9] : 31-32)

Kaum muslimin di Indonesia diprovokasi untuk berpikir sekuler-liberal, sebagian dari budaya global. Bahkan kaum muslimin didorong untuk meninggalkan cara berpikir tauhid, yang mengakui Al-Quran sebagai kitab suci yang valid dan mukjizat, dan hanya mengakui Islam sebgai satu-satunya agama yang benar.

Dalam Ma’alim fii Thariq (Petunjuk Jalan), Sayyid Quthb menguraikan tentang hakikat Islam “Peraturan Allah, pada hakikatnya, adalah lebih baik, karena itu termasuk syariat Allah. Kapan pun, syariat yang dibuat oleh manusia tak akan dapat menyamai syariat Allah. Akan tetapi, ini bukan landasan da’wah. Landasan da’wah adalah menerima syariat Allah apa adanya dan menolak syariat lain apa pun wujudnya. Beginilah Islam, pada hakikatnya. Islam tidak memiliki makna lain selain makna ini.”

"Maka , tidak perlu kita mencari-cari aturan-aturan lain, kita cukup bangga menjadi muslim “Maka apakah mereka mencari din selain din Allah, padahal kepada Allahlah mereka berserah diri." (QS. Ali-Imran [3] : 83)

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada din(Allah)yang hanif (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar-Rum [30] : 30)

Surat Al-Baqarah ayat 217 yang dikutip pada awal tulisan di atas menegaskan bahwa mereka akan terus memerangi kita, sampai din itu tidak ada pada diri kita satu persatu. Dalam din mencakup aqidah, maka sedikit demi sedikit, aqidah kita dirusak.

Di dalam din mencakup akhlak, dari situlah mulai “yaruddukum andinikum”. Semakin malu dengan identitas keislaman, di dalam din itu ada syariat, “yaruddukum andinikum”, semakin malu dengan syariat, anti terhadap penegakan hukum Islam, dalam din itu ada Islamic Wordview, mulai bangga dengan Liberalisme, Hermeneutika, Humanisme dan pada akhirnya seperti yang pernah disampaikan —Allahu yarham— Ustadz Rahmat Abdullah , “nggak bangga lagi dengan Islam” nggak bangga lagi dengan produk tarbiyah, bangganya dengan sana, sana, sana.” Dan memang itulah yang dituju mereka. Pertanyaannya apakah kita, kawan-kawan kita, saudara kita akan terjebak dengan makar mereka? Disinilah para dai berperan besar.

Muhammad Rizki Utama
Mahasiswa Arsitektur Institut Teknologi Bandung
rizkilesus.wordpress.com