Perlunya Perspektif Baru Melawan Kekerasan

Isu bom kembali marak akhir-akhir ini. Dari mulai bom buku, bom Cirebon sampai bom Serpong. Isu bom ini beriringan dengan maraknya isu penculikan dan pencucian otak yang disinyalir dilakukan oleh kelompok yang ingin membentuk Negara Islam Indonesia.

Secara tidak sadar fikiran masyarakat dikonstruksi oleh rangkaian kejadian ini dan seolah diarahkan untuk mengambil kesimpulan bahwa ada kelompok Islam tertentu di negeri ini yang masih menginginkan membentuk negara Islam dengan cara-cara kekerasan. “Indonesia siaga satu”, begitu instruksi presiden Susilo Bambang Yudotono sebagai respon atas berbagai kekerasan yang marak belakangan ini.

Tentu saja konstruksi opini semacam ini sangat mudah dibaca sebagai upaya-upaya “pembusukan” atau paling tidak “character assassination” bagi gerakan Islam yang semakin menguat di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan begitu semangatnya media-media massa tertentu menampilkan pengamat-pengamat yang “bias” ideology setiap kali aksi “terorisme” terjadi.

Meski eksistensi gerakan Islam tidak akan melemah dengan provokasi dan konstruksi opini yang menyudutkan, tetap saja terjadinya kekerasan mengatasnamakan agama adalah suatu hal yang memprihatinkan. Terlebih lagi jika dilihat, pada kenyataannya masih ada, bahkan mungkin masih banyak anak-anak muda Islam yang dengan mudah terekrut oleh “producer” dari permainan kekerasan yang mengatasnamakan Islam ini.

Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di negeri ini sesungguhnya cukup beragam dan bukan hanya kasus bom yang memang seperti sengaja dibesar-besarkan. Selama bulan April saja sudah banyak sekali tragedi kekerasan yang memakan korban. Di Jakarta Barat (12/4/2011) terjadi bentrokan yang menyebabkan 1 orang tewas dan 3 orang luka-luka.

Di Kebumen, Jawa Tengah (16/4/2011) terjadi kekerasan antara TNI dan rakyat. Dengan garangnya TNI mempertontonkan adegan kekerasan yang memakan korban 5 warga tewas dan 10 orang luka-luka. “TNI kok dilawan”, begitu komentar Gubernur Jawa Tengah merespon pembunuhan rakyat oleh aparat ini. Di depok (18/4/2011) seorang debt collector terbunuh oleh tindak kekerasan oknum TNI. Di Ogan Komiring Ilir baru-baru ini (21/04/2011) terjadi tragedi kekerasan yang melahirkan korban 7 orang tewas.

Kasus-kasus di atas hanyalah kasus-kasus kekerasan yang terekspos di Media selama bulan april saja. Kalau kita lihat lebih jauh kebelakang, kita akan menemukan hampir setiap bulan media massa memberitakan tragedi kekerasan yang terjadi di seantero negeri. Hampir setiap bulan negeri ini tidak pernah sepi dari tindak kekerasan. Belum lagi tindak kekerasan yang tidak diekspos media, seperti pembakaran Masjid yang terjadi di Medan, jumlah angka kekerasan akan lebih tinggi lagi.

Sebagian pengamat, dan mungkin juga hal ini yang diyakini oleh pemerintah, beranggapan bahwa pencucian otak dengan doktrin-doktrin yang salah mengenai agama menjadi penyebab tunggal munculnya kekerasan dan terorisme. Jika hal ini yang dijadikan thesis, pertanyaannya mengapa mereka begitu gampang direkrut dan diindoktrinasi untuk suatu hal yang dianggap salah?

Jika kita melihat pada banyak kasus kekerasan yang terjadi, faktor-faktor yang melatarbelakanginya, serta aktor-aktor yang terlibat di lapangan, maka bisa dikatakan bahwa perilaku kekerasan sesungguhnya tidaklah disebabkan oleh faktor tunggal.

Relatitas sosial yang terbentuk di negeri ini, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan pengangguran sesungguhnya memungkinkan kekerasan disulut dengan mudah. Sementara kondisi politik seringkali mengindikasikan adanya semacam eksploitasi terhadap kasus-kasus kekerasan ini untuk menutupi kasus-kasus lain yang menyangkut kekuasaan.

Disisi lain, aparat kepolisian sebagai pengayom masyarakat seringkali menunjukkan ambivalensi dalam mendemonstrasikan kemampuannya menangani kasus-kasus kekerasan. Sebagai contoh, polisi sampai saat ini masih gagal menemukan siapa pelaku kekerasan terhadap aktivis Indonesian Corruption Watch, Tama Satrya Langkun, yang dianiaya sekelompok orang setelah mengungkapkan masalah rekening gendut yang menyangkut petinggi polri beberapa bulan lalu. Namun untuk kekerasan yang berbau agama, yang dengan mudah dilabeli sebagai tindakan terorisme, polisi dengan mudah menangkap dan membongkar jaringannya.

Ambivalensi kemampuan ini menyebabkan perlawanan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian dengan densus 88-nya diyakini publik hanya sebagai upaya untuk terus mendapatkan “order” dari negara donor. Sementara teriakan-teriakan pemerintah terhadap aksi kekerasan seringkali diyakini publik hanya sebagai upaya pengalihan isu.

Jika kita benar-benar menginginkan kasus kekerasan berhenti di negeri ini, maka bacaan kita terhadap sumber-sumber kekerasan haruslah akurat dan objektif. Kita memerlukan perspektif baru dalam menilai, menganalisis dan menyimpulkan ragam kekerasan yang terjadi. Kita harus memandang bahwa kekerasan yang terjadi hanyalah ekspresi dari sebuah sebab yang perlu diidentifikasi secara lebih jauh dengan teliti.

Realitas sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang sehari-hari dirasakan oleh masyarakat, yang tidak jarang melahirkan frustasi massa harus juga dipertimbangkan dalam melakukan analisis motif dari kekerasan.

Menangkap dan membunuh sebanyak-banyaknya orang yang dituduh sebagai “teroris” sama sekali tidak akan menyelesaikan tindak kekerasan di negeri ini selama akar masalah kekerasan tidak diselesaikan dengan tuntas. “Hilang satu tumbuh seribu”, begitulah kira-kira yang telah terjadi selama ini dan akan terus terjadi jika kita tidak merubah strategi.

Doktrin agama yang telah dimanipulasi sangat mungkin menjadi sebab dari beberapa kekerasan yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, rakyat terutama pelajar dan mahasiswa, bukan hanya harus diberi kesempatan untuk mempelajari agama, namun lebih dari itu, harus didorong untuk mempelajari dan menerapkan agama dengan benar.

Sekolah-sekolah dan kampus-kampus harus memberi ruang bagi siswa dan mahasiswa untuk belajar lebih dalam mengenai agama dan bagaimana melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan benar.

Lebih jauh, pendidikan agama yang benar juga perlu diikuti dengan upaya yang serius dari pemerintah untuk mengubah realitas sosial yang buruk dan mengerikan. Tanpa menyelesaikan persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan, maka apa yang dilakukan aparat dengan menangkap dan membunuhi pelaku-pelaku kekerasan tidak lebih hanyalah sekedar mengusir asap tanpa mematikan apinya.

Pemerintah harus serius mensejahterakan rakyat, membuat sibuk rakyat dengan lapangan-lapangan kerja yang terbuka, serta menegakkan keadilan tanpa pandang bulu jika ingin menghentikan aksi-aksi kekerasan di negeri ini. Kecuali kalau memang ternyata pemerintah justru sengaja mengelola dan memanfaatkan aksi-aksi kekerasan untuk mengalihkan isu dari kegagalan pembangunan, itu lain soal.

Mukhamad Najib, Mahasiswa S3 Universitas Tokyo