Mencermati Urgensi Musyawarah pada Tragedi Koja 2010

Negeri Indonesia kembali diguncang amukan massa. Lagi-lagi amukan warga dipicu oleh tindakan aparat Satpol PP dan Kepolisian. Setiap eksekusi penertiban daerah yang dilakukan oleh Satpol PP dan Polisi acap kali berakhir dengan adu fisik yang menyebabkan korban jiwa berjatuhan.

Tepat tanggal 14 April 2010 lalu, kembali terjadi bentrok fisik antara warga Koja dengan Satpol PP dan Polisi DKI Jakarta. Tak tanggung-tanggung, bentrokan kali ini memakan 5 orang korban jiwa meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka. Selain itu, tragedi ini juga menyebabkan puluhan kendaraan petugas dibakar masa dan mengakibatkan terhambatnya arus ekspor barang yang seharusnya diberangkat hari itu.

Alhasil, bentrokan diperkirakan menelan kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyatakan keprihatinannya atas peristiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi ini.

Berbagai media mengabarkan bahwa bentrokan berdarah ini terjadi akibat adanya tindakan penertiban lahan yang dilakukan terhadap makam “mbah priuk” oleh Satpol PP dan Polisi yang sebelumnya belum mendapat persetujuan dari masyarakat Koja. Warga setempat pun bersih keras dalam mempertahankan bangunan yang mereka anggap keramat dan mempunyai situs sejarah itu. Selain dianggap keramat, makam Mbah Priuk juga biasa digunakan oleh sebagian besar umat islam di Koja sebagai tempat beribadah.

Hal tersebut membuat makam Mbah Priuk mengandung nilai spiritualitas yang tinggi dan sangat dijaga oleh warga Koja. Tak heran jika ada pihak yang ingin “menghancurkan” tempat suci ini, mereka rela berjuang habis-habisan bahkan mengorbankan jiwa dan raganya demi mempertahankan tempat ibadah tersebut.

Nasi telah menjadi bubur. Bentrok fisik antara warga Koja dengan Satpol PP telah berbuah korban jiwa dan kerugian material yang nilainya tidak sedikit. Hal tersebut telah menimbulkan pencitraan negatif bagi aparat pemerintahan daerah setempat. Satpol PP telah dianggap sebagai momok ganas yang sangat menakutkan bagi sebagian besar warga sipil yang bertempat tinggal di daerah yang terkena sengketa.

Pada dasarnya, aparat penertib lahan hanya menerima dan menjalankan perintah. Pembuat sistem dan kebijakan adalah pemerintah, sehingga pemerintahlah yang bertanggung jawab atas tragedi Koja ini. Pemerintahan saat ini cenderung berpikir fragmatis dalam mengambil keputusan. Paksaan dan kekerasan seakan menjadi pilihan nomor wahid dan dianggap mampu dalam menyelesaikan sengketa dengan masyarakat sipil.

Pemerintah hanya ingin didengarkan tanpa mau mendengar suara-suara kecil rakyatnya. Padahal, fungsi utama dari pemerintahan adalah untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warga dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari, bukan sebaliknya malah menjadi musuh utama.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga kerukunan antar sesama manusia, terlebih bagi umat seiman dan seagama. Jika terdapat suatu perkara yang belum menemui titik temu, hendaknya diselesaikan melalui jalur musyawarah, bukan degnan paksaan apalagi kekerasan. Hal tersebut secara jelas diabadikan dalam ayat Al Quran surat Ali Imran ayat 159, yang berbunyi:

Artinya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Dari terjemahan ayat di atas, sangat jelas bahwa Allah memerintahkan kita selaku umatnya untuk berlaku lemah lembut terhadap sesama dan apabila kita bersikap keras bahkan berhati kasar, maka orang-orang di sekeliling kita akan menjauhkan diri. Hal tersebut jika dikaitkan dengan tragedi Koja yang baru saja terjadi tentu memberikan masukan yang sangat substansial bagi pemerintah, khususnya dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Rosulullah Muhammad SAW, sang pemimpin terbaik yang tiada duanya, pada masa penyebaran agama islam di abad ke 7 masehi bahkan melakukan perundingan dengan kaum kafir Mekkah karena adanya ketidaksepahaman antara kedua belah pihak dalam suatu perkara yang kemudian dikenal hingga saat ini dengan perjanjian Hudaibiyah.

Hal ini merupakan strategi Rosulullah untuk menghindari terjadinya kericuhan antara kedua belah pihak (kaum islam dengan kaum kafir) dan jatuhnya korban jiwa. Rosullullah telah memberikan teladan terbaik sepanjang masa bagi umatnya tentang bagaimana adab berinteraksi dan menyelesaikan suatu perkara jika ada suatu perbedaan pendapat, yaitu dengan bermusyawarah untuk mufakat.

Pemerintah seharusnya mampu meneladani kepemimpinan Rosullullah SAW dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Rosullullah mampu membangun titik temu dengan lawannya sekalipun, terlebih dengan umat islam yang sangat ia cintai. Sebelum mengambil keputusan, musyawarah seharusnya menjadi pilihan utama pemerintah dalam menyelesaikan sengketa dengan masyarakat tanpa harus menunggu korban berjatuhan baru melakukan mediasi (baca:musyawarah).

Musyawarah mampu menciptakan titik temu dan sinergisitas antara kepentingan masyarakat dan penegak hukum yang ada. Dengan bermusyawarah bersama masyarakat, pemerintah dapat merubah paradigma bertindak dari fragmatis menjadi dialogis. Bertindak dialogis disini maksudnya yaitu mau mendengarkan dan mempertimbangkan masukan dari rakyatnya dalam mengambil keputusan, bukan melakukan tindakan atas kemauan sendiri. Pemerintahan yang dialogis mampu membangun komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan perbedaan pendapat.

Kini saatnya pemerintah malakukan instropeksi dan pembenahan terhadap sistem yang ada, terutama dalam hal penertiban lahan sengketa. Pemerintah tidak perlu lagi menerapkan paksaan dan kekerasan dalam menyelesaikan masalah sengketa lahan dengan masyarakat, akan tetapi justru membuka pintu musyawarah sebesar-besarnya dalam rangka mencari titik temu perbedaan kepentingan kedua belah pihak sehingga pada akhirnya masyarakat dapat merasakan peran pemerintah yang sesungguhnya yaitu sebagai ulil albab (pemimpin) yang mengayomi dan peduli terhadap kepentingan rakyatnya.

Mudah-mudahan kita semua dapat mengambil hikmah atas tragedi Koja yang telah terjadi dan mampu kembali membangun hubungan yang harmonis antara aparatur pemerintahan dengan masyarakat sehingga dapat mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat dan mendapat keridhoan dari Allah SWT.

Profil Penulis

Rahman Jinar Hadi; Mahasiswa IPBsemester 6 & Guru Freelance Bintang Pelajar