Ideologi dan Kebangkitan Bangsa; Kemelut Pertikaian Ideologi Bangsa Indonesia

Baru saja kita menyaksikan pelantikan Presiden RI beserta jajaran kabinetnya. Setiap individu, organisasi dan media memberikan komentar-komentar pro-kontra atas Presiden, wapres dan mentri-mentri terpilih. Bahka seseorang yang pernah masuk black list mentri sebelumya, juga ikut terpilih menjadi mentri dalam susunan cabinet RI bersatu jilid dua ini. Aneeh bukan??

Ntah apa yang menjadi pertimbangan, dan memang bukan itu yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya mengekspresikan suara hati setelah melihat kemelut pertikaian idiologi yang terjadi di bangsa Indonesia ini. Satu berpihak kepada kemaksiatan, dan yang satu berpihak kepada kebaikan. Pihak A menyebarkan kebaikan dan Pihak B menggembor-gemborkan kemaksiatan. Ironis memang..!!

Hal terpenting yang harus kita pahami sebelum menelusuri lebih jauh faktor-faktor kemajuan suatu bangsa, ialah bahwa suatu bangsa tak akan pernah terpisah dengan idiologi. Yakni, bangsa dan idiologi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam bahasa kita idiologi ini lebih kita kenal dengan istilah AKIDAH[1] .

Akidah memiliki peran penting dalam proses menuju peradaban suatu kaum. Dan setiap bangsa yang telah mengukir peradabannya memiliki akidah yang berbeda. Secara sederhana saya beri contoh sebagai berikut; Yunani mengimani akan kebaharuan alam (hadatsatul alam) dan menafikan tuhan sebagai pencipta. Mesir kuno percaya terhadap roh, hewan serta kekuatan ghaib.

Peradaban Hindu percaya terhadap wujud tuhan yang diklasifikasikan dalam lingkaran dewa-dewa. Dan Persia memiliki akidah paganisme. Demikian juga perjalanan awal Romawi yang meyakini paganisme, dimana kemudian pada awal abad 4 M, akidah bangsa Romawi berubah secara drastis menjadi akidah kristiani. Dan terakhir peradaban abad baru -peradaban Rusia- dan abad Millenium -peradaban Barat- dengan akidah atheismenya.

Jika kita membuat bagan klasifikasi akidah yang muncul di setiap peradaban, maka akidah itu terbagi menjadi dua[2] . Yaitu; pertama aqidah diniyah dan kedua aqidah la diniyah. Aqidah diniyah ialah yang memeprcayai wujud tuhan, terlepas bagaimana deskripsi mereka terhadap zat, bentuk dan eksistensi tuhan tersebut. Akidah ini diwakili oleh semua peradaban yang pernah muncul di dunia, terkecuali Yunani dan Eropa saat ini. Adapun aqidah la diniyah ialah yang tidak mempercayai wujud tuhan. Secara umum, akidah ini diwakili oleh yunani dan Eropa –telepas bahwa ada bibit-bibit kecil dari aqidah diniyah di kedua peradaban tersebut-.

Kemudian, akidah inilah yang nantinya akan mempengaruhi orientasi bangsa pemakmur peradaban tersebut. Bagi bangsa penganut aqidah diniyah, mereka menyatukan agama dengan aktivitas keseharian. Dan mereka beranggapan bahwa bentuk pengabdian manusia terhadap tuhannya adalah dengan menyembahnya dan menjalani hidup sesuai rambu-rambu yang telah ditetapkan olehnya. Sehingga aktivitas mereka terorientasi pada dua alam, saat hidup dan setelah kehidupan.

Dari sini muncul paham dialektika (keterkaitan) amal duniawi dengan ganjaran ukhrawi. Dengan dialektika tersebut tercipta secara sendirinya kesungguhan aktivitas serangkai dengan kesabaran, ketundukan, kearifan dan kejujuran, yang akhirnya IMAN mereka terhadap tuhan-tuhan mereka menjadi “tim audit” aktivitas keseharian mereka, tanpa harus ada pengawasan ketat dari MA, Aparat Kepolisian atau KPK. Pada detik ini ketentraman hidup adalah out put yang mereka nikmati, dimana hal itu mempercepat proses kebangkitan mereka.

Sedangkan bagi bangsa penganut aqidah la diniyah, mereka memisahkan agama dari kehidupan, bahkan menafikan adanya agama. Atas landasan berfikir ini mereka berpendapat bahawa manusia sendiri yang berhak membuat rambu-rambu hidupnya. Dan mereka menganggap dunia ialah satu-satunya alam tempat menanam dan memetik. Tidak sedikit pun kata akhirat tersirat dalam hati mereka. Tentang hal ini al-Quran mengabarkan tipe manusia seperti mereka:

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ…….

Namun al-Quran tidak tinggal diam, melainkan me-raad (mengkritisi( anggapan mereka dengan pernyataan:

وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ…….الجاثية: 24)

Karena mereka berkeyakinan bahwa kehidupan hanya terbatas pada teritorial alam dunia. Maka orientasi awal mereka adalah Mencari kebahagiaan sebanyak mungkin selama hidup di dunia. Mencari kekayaan dan kemewahan tanpa batas. Segala perbuatan harus mengandung keuntungan, bahkan relakan aktivitas lain sekiranya tiada mendatangkan keuntungan. Dengan demikian terlahir spirit merauk materi sebanyak-banyaknya. Yang mana hal itu juga mempercepat kebangkitan mereka.

Sampai sini, saya simpulkan, bahwa suatu bangsa yang tidak memiliki idiologi yang jelas, maka tidak akan mampu membangun peradabannya. Dia hanya akan menjadi bangsa “pengekor” peradaban-peradaban yang ada. Bangsa yang plin plan mengkuti arah angin bertiup.

Jepang, Cina dan Iran yang saat ini mulai berada di tepi garis kebangkitan menyaingi Amerika dan Eropa, adalah bangsa-bangsa yang memiliki akidah yang jelas –terlepas akidah mereka adalah syi’ah dan atheis[3] – , namun keduanya mewakili 2 idiologi yang ada, diniyah dan la diniyah.

Adapun negara yang tidak memiliki akidah yang jelas atau negara yang memiliki penduduk dengan variasi akidah yang sangat mencolok, maka akan terjadi saling sabot anatar keyakinan yang berujung pada pro-kontra penetapan sistem kenegaraan, ekonomi, sosial, undang-undang dan lain sebagainya, padahal sistem itu memiliki peran penting dalam perputaran roda kebangkitan.

Hal ini hanya menimbulkan perang kepentingan dan keyakinan pada setiap butir-butir pematangan keputusan kenegaraan [4]. Walakhir, bangsa itu hanya diurung pertikaian ide-ide ke-idiologi-an, yang sudah pasti akan menghambat kemajuan. Wallhu ‘alma bisshowab

Catatan :

[1] Akidah yang saya maksud ialah: apa yang dipercayai oleh manusia terkait ada atau tidaknya Tuhan.

[2] Malik Bin Nabi, Zhahirah Quraniyah, Mazhan dini wa mazhab maddi.

[3] Agama Shinto di jepang telah dihapuskan dari agama resmi negara pasca perang dunia ke satu.

[4] Konfrontasi idiologi adalah sunnah kehidupan, sesuai apa yang dikabarkan al-Quran. Jadi sama sekali kita tidak akan bisa keluar dari sunnah ini.

Rahmat Hidayat Lubis
Bachelor Of Islamic Civilization
International Islamic Call College Libya