Revolusi di Tunisia dan Masa Depan Dakwah Islam

“Rerumputan begitu kering di Afrika Utara”, begitulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi pasca Revolusi Tunisia beberapa waktu yang lalu. Percik api di negara bekas presiden Bin Ali itu merembet dengan cepat ke region-region jirannya, seperti Aljazair dan Mesir.

Para pemuda Al-Jazair mulai terjangkit demam revolusi lalu melakukan protes disertai perusakan dan pembakaran. Di Mesir, hidup di bawah tekanan diktator Husni Mubarak sekian puluh tahun, kemarin generasi Facebook turun ke jalan memprotes kondisi mencekik, menuntut reformasi dan lengsernya Mubarak.

Rezim-rezim di negara-negara pantai Mediterania itu memang pantas takut. Pasalnya, kondisi umum yang meliputi kawasan itu boleh dikata kurang lebih sama. Saat ini, rakyat Afrika Utara hidup di bawah pemerintahan-pemerintahan diktator yang didukung Barat, korup, dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, dan sumber daya alam yang tergadaikan : faktor-faktor yang di negara manapun akan menjadi bom waktu.

Menyusul efek domino ini, sebagian kita barangkali bertanya-tanya : siapa selanjutnya? Apakah ini awal dari Revolusi Arab? Lebih jauh, apakah ini awal dari Revolusi Islam di Arab? Apakah revolusi ini akan berakhir pada penegakkan Khilafah Islamiyah?

Sebelum berharap lebih jauh, kita mesti menerima fakta bahwa revolusi Tunisia, sebagai awal dari domino itu, ternyata hanya berputar di tempat tanpa ada kejelasan arah. Presiden Bin Ali memang hengkang, namun pemerintah dikuasai oleh Perdana Menteri Ghanoushi yang tidak lain setali tiga uang dengan sang Presiden. Ialah tangan kanan Presiden, pemerintah baru adalah orang-orang lama. Ketika para demonstran turun kembali ke jalan untuk memprotes kabinet baru, mereka sudah kehabisan tenaga. ”Bin Ali telah kabur dari pintu belakang lalu kembali lewat pintu depan,” begitu tajuk situs khilafah.com

Kaum oposisi tidak memainkan peran penting pada peristiwa itu. Orang-orang turun ke jalan tanpa organisasi yang jelas, dan tidak secara jelas menunjukkan afiliasi dengan partai manapun. Maklum, oposisi di sana sudah diolok sebagai kekuatan yang lemah dan telah sering berkolusi dengan rezim diktator. Tidak juga harakah Islam. Meskipun ikut memanfaatkan momen dengan turun ke jalan dalam rangka dakwah, jelas bukan harakah Islam yang memotori protes. Di antara para demonstran itu ada wanita-wanita tak berhijab, dan mereka sama sekali tidak meneriakkan yel-yel “Syariah” atau semacamnya. Protes ini adalah spontan, dan lebih menguntungkan kaum sosialis dalam propagandanya sebagai revolusi “kaum pekerja” yang pantas ditiru.

Dengan fakta bahwa revolusi ini berjalan tanpa kepala dan arah, terbentuknya kabinet baru dengan orang-orang lama sudah cukup bagi Amerika untuk angkat bicara menyampaikan kegembiraannya. Berlawanan dari ekspresi yang diramalkan—berhubung Ben Ali yang ditumbangkan itu adalah antek Barat—Amerika malah memuji revolusi Tunisia dan berharap persitiwa itu menjadi pendorong “terwujudnya reformasi di berbagai wilayah.”

Oleh karena itu, jelas, kita tidak bisa berharap pada Tunisia dalam konteks revolusi itu sendiri. Tidak juga pada Mesir, di mana Ikhwanul Muslimin yang lebih pantas berada di ujung bom waktu itu dan menjadi harapan perubahan—karena berpuluh tahun dikebiri hak politiknya oleh rezim Mubarok—malah membiarkan ledakan protes itu diambil alih oleh massa spontan ala Tunisia.

‘Ala kulli hal, bagaimanapun faktanya, kondisi terbaru dapat juga membawa hawa segar untuk umat Islam. Rezim Bin Ali selama bertahun-tahun telah melarang jilbab dan mengekang syiar-syiar Islam, mungkin sama atau lebih buruk dari rekannya, Kolonel Khadafi di Libya. Sesaat setelah hengkangnya Bin Ali, bersamaan dengan seruan untuk dibukanya keran kebebasan dan pintu partisipasi politik, umat Islam Tunisia secara demonstratif sholat berjamaah di jalanan. Untuk pertama kalinya pun seruan penerapan Syariah dan penegakkan Khilafah, mengikuti gelombang yang sama di kawasan muslim lainnya, masuk ke ruang publik tanpa rintangan yang berarti.

Di tahun-tahun mendatang, bisa jadi tren kebebasan politik di Afrika Utara menciptakan atmosfer yang mendukung untuk dakwah Islam dan kehidupan kaum muslimin pada umumnya. Di samping itu, rasanya pesimis untuk mengatakan bahwa revolusi Jasmin (Tunisia) itu akan membawa penyelesaian untuk problem-problem sosial dan politik yang ada. Maka, kita optimis untuk mengatakan bahwa gerakan Islam di Tunisia dan Afrika Utara akan mampu meraup popularitas pasca krisis ini dengan mengusung ideologi alternatif.[]
Balikpapan, 26 Januari 2011

Reza Ageung S.
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan