Pragmatisme Kepemimpinan Kaum Muda

Harus diakui bahwa sampai hari ini harapan akan terjadinya reformasi yang sejati selalu disandarkan pada kaum muda. Disisi lain keinginan untuk segera menyudahi kiprah orang tua dikancah politik menjadi aspirasi kaum muda yang terus bergema.

Artikulasi mereka bermacam-macam. Misalnya kaum muda di DPR yang tergabung dalam kaukus politisi muda parlemen membentuk kabinet bayangan yang diniatkan sebagai alat kontrol pemerintahan. Beberapa “gerakan jalanan” meneriakkan potong satu generasi, dan yang lainnya menganggap pemimpin tua sudah seharusnya berhenti karena dianggap tidak mampu mengemban amanah reformasi.

Sebenarnya, jika kita lihat dengan jujur, reformasi telah memberikan ruang ekspresi yang luas, tidak hanya untuk para pemain tua, namun juga untuk kaum muda.

Di DPR, politisi muda bertebaran hampir di seluruh fraksi, dan mereka menduduki posisi-posisi yang cukup strategis seperti pimpinan komisi, pimpinan fraksi bahkan pimpinan dewan itu sendiri. Di kabinet, kaum muda juga memperoleh tempatnya untuk berkarya bagi bangsa dengan menduduki beberapa jabatan menteri, seperti menteri pemuda dan olah raga, menteri percepatan pembangunan daerah tertinggal, menteri kehutanan dan lain-lain.

Begitu juga di daerah, kaum muda tampil sebagai kepala daerah, baik sebagai gubernur, walikota maupun bupati. Namun persoalannya adalah apakah kinerja kaum muda diatas panggung reformasi ini lebih baik dari politisi tua? Apakah kaum muda terbukti lebih idealis dalam menjalankan amanah reformasi dari orang tua? Apakah kaum muda dapat dilihat secara nyata bahwa mereka lebih energik dibanding orang tua?

Ketika harapan akan reformasi ini begitu besar, sementara kemampuan kaum muda melaksanakan agenda-agenda reformasi secara konsisten hanyalah sebuah teori belaka, maka yang akan terjadi sesungguhnya adalah titik balik reformasi. Yaitu situasi dimana perubahan sama sekali tidak menjanjikan harapan, dan rakyat kembali memilih masa lalu yang dianggap lebih memberi kepastian.

Gejala titik balik reformasi ini telah nampak diberbagai lapisan masyarakat. Sulitnya situsi ekonomi menyebabkan mereka tidak peduli dengan agenda-agenda reformasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagaimana selalu disampaikan oleh kabinet Indonesia Bersatu tetap belum dapat mengeliminasi mereka yang tidak memiliki nasi, tak mampu menurunkan angka kemiskinan, dan tak mampu mengatasi kesenjangan sosial yang terjadi.

Reformasi menampakkan wajah kesangsaraan bagi sebagian besar anak negeri, sementara kaum muda sebagai aktor utama reformasi seolah tidak menyadari.

Kaum muda, dimana kepada mereka harapan reformasi disandarkan seperti asyik dengan akrobat politiknya sendiri. Ketika rakyat lantang berteriak menolak kenaikan harga BBM, politisi muda seolah tuli, dan memilih tidak bertentangan dengan kebijakan partai yang menyetujui kenaikan harga BBM ini.

Ketika rakyat menderita karena bencana di LAPINDO, politisi muda lebih memilih melakukan kompromi kepada pengusaha yang lalai dalam memberikan ganti rugi. Apa yang mereka perjuangkan? Reformasi? Sesungguhnya nurani mereka telah tergadai demi mempertahankan kursi yang ingin mereka duduki kembali pada pemilu 2009 nanti.

Harapan akan reformasi dan perubahan selalu disandarkan pada kaum muda. Sayangnya kenyataan menunjukkan ketika kaum muda mendapatkan apresiasi untuk duduk dikursi kehormatan dengan menjadi anggota dewan maupun duduk di kementrian, banyak diantara mereka yang tidak mampu mengemban amanah reformasi.

Fenomena politisi muda yang melakukan tindakan asusila atau politisi yang terjerat kasus korupsi, sesungguhnya telah menciderai harapan rakyat akan reformasi itu sendiri. Yang muda yang idealis atau yang muda yang reformis sebagaimana yang selama ini didengung-dengungkan oleh banyak orang tampaknya tidak lebih dari sekedar halusinasi kolektif yang mencengkram syaraf-syaraf kesadaran publik. Pada titik ini persoalan tua muda sesungguhnya menjadi tidak berguna, karena rakyat hanya melihatnya dari karya nyata.

Satu hal yang sama-sama kita saksikan adalah bahwa tantangan kaum muda hari ini begitu luar biasa. "Hari ini kita menyaksikan bagaimana kapitalisme telah wujud dalam bentuk kolinialisme peradaban yang sempurna. Dimana negeri-negeri jajahan tidak merasa diri mereka sebagai bangsa yang terjajah. Karena yang dijajah bukanlah fisik secara langsung, namun melalui pemikiran, perilaku dan budaya" demikian dikatakan oleh Yusuf Qardhawi.

Budaya kapitalisme yang serakah, hanya mementingkan kepuasan diri sendiri serta selalu menghalalkan segala cara sebagaimana dikatakan oleh Danah Zohar dalam bukunya Spiritual Capital ternyata telah merasuk dalam kepribadian kaum muda Indonesia. Inilah sesungguhnya akar persoalan yang paling nyata, sehingga ketika mereka memiliki kuasa maka yang pertama kali dilakukan adalah pemuasan nafsu pribadi.

Politisi muda menjadi pengumpul harta tidak peduli dari mana jalannya. Kuasa mereka sebagai anggota dewan memudahkan mereka menulis memo kepada departemen atau mitra kerja mereka untuk memfasilitasi program hura-hura mereka, seperti tamasya keluar negeri bersama keluarga atas biaya Negara dengan mengatasnamakan kunjungan kerja.

Pragmatisme yang lahir dari ideologi kapitalisme seringkali menjadi tantangan nyata yang bersemayam dalam jiwa dan pikiran politisi muda. Jika kaum muda ingin tampil memimpin perubahan-perubahan besar di negeri ini, maka pragmatisme mereka terlebih dulu harus disucikan.

Hanya dengan hati yang bersih energi perubahan akan menggerakkan seluruh lapisan masyarakat, seperti gerak ombak yang tanpa henti dan tanpa pamrih. Semoga harapan itu masih ada!

Profil Penulis

Mukhamad Najib, adalah mahasiswa S3 di Universitas Tokyo, sebelumnya aktif di KAMMI dan juga DPW PKS Jakarta