Pemimpin yang Men‘tuhan’kan Kekuasaan

Demi mempertahankan kekuasaannya sebagai Presiden Libya, Muammar Khadafi yang telah memimpin Libya sejak 42 tahun yang lalu dikabarkan telah membantai ribuan pendemo yang menginginkan dirinya turun dari kursi kekuasaan.

Hingga kini, ia dikabarkan masih berjuang mempertahankan kursi kekuasaannya dengan berperang melawan rakyatnya sendiri. Sebelumnya, Husni Mubarak yang telah berkuasa di Mesir selama 30 tahun juga dengan begitu berat melepaskan kursi kekuasaannya meski ratusan ribu rakyat Mesir telah tumpah ruah ke kota-kota di Mesir untuk menunutut dirinya mundur dari kursi Presiden. Begitu juga dengan Zein ben Ali yang telah berkuasa selama 23 tahun di Tunisia, baru melepaskan kursi kekuasaannya setelah tak kuasa lagi melawan kekua­tan rakyat yang marah kepadanya.

Sejarah juga mencatat bagaimana mantan presiden Soeharto yang telah menjabat sebagai presiden Indonesia selama 31 tahun baru bersedia melepaskan jabatannya setelah terjadinya krisis ekonomi yang dibarengi dengan aski mahasiswa yang menduduki gedung parlemen.

Kita juga menyaksikan bagaimana tamaknya si Nurdin Halid terhadap jabatan sebagai ketua PSSI sehingga menyulut demo dimana-mana yang menutut pengunduran dirinya, namun semua itu tidak membuatnya bergeming dan terus tergila-gila kepada jabatannya.

Kisah-kisah para pemimpin diatas merupakan cerita tentang manusia-manusia yang menjadikan kekuasaan sebagai ‘tuhan’nya. Tentang manusia tanpa perasaan yang hanya berpikir tentang kekuasaan. Sebab, sebuah kekuasan bagi mereka harus direbut atau dipertahankan meski dengan mengorbankan nyawa manusia yang tidak berdosa.

Meskipun harus menghancurkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Mereka begitu takut kehilangan kekuasaannya meski selama ia mengemban kekuasaan tersebut amanah adalah hal yang sulit mereka jalankan.

Mereka menjadikan kekuasaan sebagai sarana mengeruk keuntungan dengan memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Meskipun didepannya rakyat sedang menjerit. Merintih dan pedih karena kemiskinan dan kenestapaan yang mendera mereka.

Di negara kita juga sudah tak terhitung jumlahnya pemimpin-pemimpin yang setelah berakhir masa jabatannya ia kemudian dijeblos ke dalam penjara dan menjadi hina di hadapan manusia dan Tuhannya. Baik pemimpin pada posisi sebagai eksekutif, legislative maupun pada pos-pos jabatan lainnya seperti Menteri, kepala dinas, kepala badan dan sebagainya.

Hampir setiap hari kita mendengar di media massa kasus seorang anggota dewan), mantan menteri yang dipenjara karena kasus suap. Bahkan beberapa waktu lalu, kita tersentak setelah anggota dewan kita di parlemen ramai-ramai dijebloskan ke dalam penjara karena telah melakukan korupsi dan suap secara massal di gedung wakil rakyat disana.

Ini terjadi karena selama masa kepemimpinannya, ia dianggap bukan orang yang mampu mengemban amanah dengan baik, atau ia sendiri telah ditipu dan diperbudak oleh tipu dayah ‘tuhan’ kekuasaan sehingga ia meraih kekuassan tersebut dengan cara yang dilarang oleh Allah dan kemudian tidak menunaikan amanah kekuasaan tersebut. ‘tuhan’ kekuasaan ini kemudian memerintahkannya untuk melakukan berbagai pelanggaran sehingga mata hatinya pun tertutupi dan terjadilah praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan berbagai pelanggaran lainnya yang menghancurkan semua sendi kehidupan rakyat di negeri ini.

Selain itu, kita juga baru saja menyaksikan lebih dari separoh wakil rakyat di DPR RI menolak hak angket perpajakan karena tidak setuju adanya pengusutan terhadap mafia-mafia pajak di negeri ini. Demi meraih jabatan sebagai menteri, kepentingan rakyat pun dikorbankan. Padahal, entah apa yang membuat mereka rugi seandainya mereka menyetujui hak angket mafia pajak.

Seharusnya, mereka tidak perlu takut dengan hak angket itu jika mereka adalah orang-orang yang bersih dan menginginkan negeri ini bersih dari kejahatan para mafia pajak. Mereka menjadikan kekuasaannya sebagai sarana untuk membela kebathilan. Dan ini merupakan indikasi ketika kekuasaan telah dijadikan sebagai ‘tuhan’.

Saat mereka menjadi anggota legislative, yang mereka pikirkan adalah kapan mereka diangkat menjadi menteri atau jabatan yang lebih tinggi dan prestisius lainnya. Bukan memanfaatkan kekuasaan yang telah diberikan untuk menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya. Pada saat seperti ini, nurani menjadi mati dan hanya nafsu duniawi serakah yang berbicara sehingga yang muncul adalah ketimpangan-ketimpangan dalam tatanan kehidupan beragama dan berbangsa.

‘Syahwat kekuasaan’ memang tidak jarang menenggelamkan akal sehat manusia dalam sejarahnya. Sehingga istilah ‘habis jabatan masuk penjara’ menjadi begitu ngetren dilekatkan dalam sejarah kepemimpinan bangsa ini di semua levelnya. Ini terjadi karena proses meraih jabatan sering kali tidak dilalui dengan kejujuran, tidak disertai dengan kemampuan dan keteladanan.

Bahkan yang ironis, ketika sebuah kekuasaan dikejar memang untuk berbuat kerusakan seperti untuk bersenang-senang dengan harta benda, ingin dihormati dan dilayani oleh rakyat, atau untuk menimbun harta benda untuk disimpan kepada anak cucunya sampai tujuh keturunan.

Selain itu, setiap menjelang momentum pilkada, para kandidat yang akan bertarung tidak jarang menjadikan kekuasaan sebagai ‘tuhan’nya sehingga kemudian ia pun menghalalkan segala cara untuk menggapai kekuasaan tersebut. Saling fitnah diantara kandidat, tim sukses maupun pendukung antara salah satu kandidat dengan pendukung kandidat yang lain merupakan salah satu indikasi bahwa kekuassan telah dijadikannya sebagai ‘tuhan’.

Adanya kasus-kasus intimidasi, pembohongan publik untuk menunjang popularitas, money politic(politik uang), sogok menyogok, politik transaksional yang pragmatis setiap menjelang pilkada merupakan bukti bahwa kekuasaan dan jabatan telah dianggapnya sebagai ‘tuhan’. Sehingga perbuatan-perbuatan yang yang merupakan larangan Allah Swt sebagai Tuhan pencipta sekalian alam menjadi begitu mudah dilanggar. Sedangkan perintahNya pun mudah saja untuk diabaikan.

Melihat Kekuasaan dengan Kacamata Islam
Islam sebagai agama yang mengatur semua tatanan kehidupan umat manusia meminta kita agar bisa ‘dewasa’ dalam melihat kekuasaan. Dalam Alquran Allah mengingatkan:

Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”( Ali imran ayat 26).

Ayat ini menjelaskan bahwa dengan kekuasaan, Allah bisa saja meningkatkan martabat seseorang sekaligus menistakannya di dunia dan akhirat. Maka kemudian Rasulullah Saw memberikan kita sebuah gambaran tentang kekuasaan beserta keuntungan dan kerugian yang mengirinya: ”bahwa jabatan itu amanah, dan ia di hari Kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang hak, serta menunaikan kewajiban yang terpikul di atas pundaknya. (HR. Muslim).

Jabatan sebagai penguasa merupakan amanah yang kebanyakan orang tidak mampu menunaikannya dengan baik kecuali orang-orang dirahmati dan dibantu oleh Allah swt. Karena itu Islam mengharuskan mereka yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai bujuk rayu setan yang mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.

Rasulullah saw tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang memintanya. Karena itu adalah tanda ambisiusnya terhadap jabatan tersebut yang kebanyakan nafsunya melebihi kemampuannya sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah bahwa Nabi saw bersabda,”Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta imarah (jabatan, kepemimpinan). Sesungguhnya jika engkau diberikannya karena memintanya maka engkau tidak akan dibantu.” (HR. Bukhari).

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak semua pemimpin, politisi dan pencari kekuasaan di negeri ini agar tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan atau mempertahankannya. Khususnya bagi kalian yang mengaku sebagai Muslim.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya pemimpin yang mulia dihadapan manusia dan dihadapan Allah adalah pemimpin yang meraih kekuasaan tidak dengan cara yang dilarang oleh Allah dan kemudian ia menjalankan amanah kepemimpinan tersebut sesuai misi Tuhannya, membentuk negara dan masyarakat yang Baldatun Thaybatun wa Rabun Ghafur, yaitu negeri yang makmur dan penghuninya diampuni oleh Allah. Wallahu a’lam bishshawab.

Teuki Zulkhairi, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.