Keniscayaan Politik Dakwah

Pelaksanaan syaria’t Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam sudah barang tentu membutuhkan seluruh komponen masyarkat yang pro-aktif berjuang untuk menegakkannya. Khususnya para politisi kita. Karena syari’at Islam adalah sebuah cita-cita luhur yang menjadi keniscayaan bagi setiap Muslim untuk serius mewujudkannya.

Artinya ia bukan hanya tugas Dinas Syari’at Islam, para ulama dan santri, aktifis dakwah atau ormas-ormas Islam lainnya, tetapi juga menjadi tanggung jawab para politisi dari lintas parpol, baik parpol Islam maupun nasionalis.

Menurut penulis, satu-satunya cara mewujudkannya adalah dengan dakwah, sementara saat ini pemahaman kebanyakan elit dan masyarakat kita tentang dakwah sangat rancu. Dakwah dipandang tidak pantas memasuki wilayah politik, tidak pantas dilakoni oleh para politisi. Alhasil terjadilah dikotomi antara dunia dakwah dengan politik.

Padahal dalam Islam tidak ada pemisahan antara dakwah dan politik. Dakwah oleh para politisi akan semakin memudahkan jalan menuju penerapan Syari’at Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini karena posisi sebagai politisi adalah posisi yang sangat vital, ruang interaksinya dengan masyarakat sangat luas, juga didukung oleh fakta bahwa para politisi merupakan figur publik yang lebih sering muncul ke permukaan.

Dengan demikian, dakwah dapat berperan membantu menyelesaikan problematika masyarakat, suaranya bisa sampai kepada para pengambil keputusan dan kebijakan dan menyampaikan argumen kepada para pemegang amanah dan tanggung jawab.

Mengingat fungsi dan peran dakwah yang demikian penting dan menentukan, maka pengertian dakwah dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, harus dipahami secara tepat dan benar, sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Sirah Nabawiyah yang berisikan petunjuk bagaimana dakwah itu dilakukan, sehingga menghasilka pribadi-pribadi yang istiqamah dan tangguh serta terbentuknya tatanan masyarakat yang Islami yang dipayungi oleh sistem syari’at yang kaffah. Salah satu masalah kontemporer yang terus dikaji adalah keterkaitan dakwah dengan politik.

Selama ini penulis melihat ada kesalahan paradigma berpikir masyarakat kita yang dominannya sekuleristik hingga membuat mereka cenderung apatis akan hadirnya nilai-nilai Islam dalam iklim perpolitikan Indonesia secara umum dan Aceh khususnya.

Melihat realitas ini penulis mencoba membedah kemungkinan termanifestasinya wajah politisi kita untuk merangkap dan menjelma menjadi pilar-pilar kebangkitan Islam yang mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam kehiidupan berpolitik, bukan sebatas hanya pada ritual ibadah semata..

Saya yakin bahwa dari partai apapun dia berasal semua politisi muslim kita sangat memungkinkan menjadi juru dakwah, sangat memungkinkan menjadi teladan umat serta yang terdepan dalam mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang universal.

Islam adalah agama dakwah yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Predikat khaira ummah (umat yang paling baik dan pilihan) hanyalah diberikan Allah SWT kepada kelompok umat yang aktif terlibat dalam kegiatan dakwah.

Disamping itu, pertolongan Allah SWT hanya akan diberikan kepada mereka yang patut mendapatkannya, yaitu mereka yang dalam posisi, jabatan pekerjaan, dan keahlian apapun selalu menegakkan shalat, mengeluarkan infak, zakat, aktif melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar atau dakwah (Al-Hajj: 40-41).

Melihat esensi dari nilai-nilai dakwah serta tuntutan dari nilai-nilai politik, maka penulis memiliki pandangan bahwa pada dasarnya antara dakwah dan politik memiliki kesamaan yang sangat jelas dalam kacamata Islam, tentunya politik yang diaktualisasikan sesuai nilai-nilai Islam yang universal. Mungkin kedengaran sedikit aneh karena selama ini penulis melihat secara umum masyarakat kita memiliki pandangan bahwa politik adalah sesuatu yang kotor, namun ketika politik itu dijalankan sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah maka itulah politik Islam, dan memang suatu keniscayaan bagi umat Islam untuk menjalankan sistem perpolitikan sesuai tuntutan Islam.

Sebagai contoh peran dakwah dalam politik , pada masa kejayaan umat Islam era Khalifah Abbasiah, hingga Turki Usmani dan Kerajaan Islam Aceh masa Sultan Iskandar Muda, semua aktifitas dakwah Agama ditopang oleh para pemegang kekuasaan atau pelaku politik, bahkan mereka sendiri juga merupakan politisi-politisi yang sekaligus sebagai da’i, sehingga kita tidak heran bagaimana jayanya Islam dan kaum Muslimin ketika itu.

Namun, realita sekarang ini tidaklah sesuai dengan idealita. Dakwah dan politik dipahami sebagai dua ‘kata’ yang kontra oleh sebagian masyarakat. Hal itu karena politik dipahami sebagai aktifitas dunia, sedang dakwah dipahami sebagai aktifitas akhirat. Yang pada gilirannya dipahami bahwa dakwah tidak pantas memasuki wilayah politik, dan politik haram memasuki wilayah dakwah. Dakwah adalah pekerjaan para ustadz, dan politik pakerjaan para politisi.

Jika seorang ustadz yang menjadi politisi, ia harus menanggalkan segala atribut dan prilaku ke-ustadz-annya, dan harus mengikuti atau beradaptasi dengan perilaku para politisi. Demikian pula apabila seorang politisi menjadi ustadz ia pun harus menanggalkan baju politiknya, dan jika tidak, ia akan tetap dicurigai menggunakan agama sebagai alat politik.

Secara operasional, bahwa dakwah adalah politik dan politik adalah dakwah dapat dipahami dengan baik oleh setiap muslim apabila pertama, memahami universalitas Islam; kedua, memahami risalah penciptaan manusia; dan ketiga, mengatahui cara merealisasikan risalah tersebut sesuai dengan ajaran Islam.

Sehingga setiap muslim harus menjadi da’i sekaligus menjadi politisi. Karena politik bagian dari keuniversalan Islam, maka setiap muslim harus meyakini bahwa Islam memiliki sistim politik yang bersumber dari Allah, dicontohkan oleh Rasulullah dan dikembangkan oleh para sahabat dan salafussaleh, sesuai dengan dinamika perkembangan hidup manusia setiap masa.

Berikutnya setiap muslim pun harus siap menjalankan sistem tersebut, dan tidak akan menjalankan sistim yang lain, karena dikhawatirkan akan tergelincir pada langkah-langkah syaitan.

Itulah bagian dari pengertian firman Allah SWT; “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syatan. Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian adalah musuh yang nyata.” (QS. Al-Baqarah: 208). Dengan memahami ayat ini lebih mendalam kita pasti akan menanti hadrinya politisi dakwah sejati di negeri ini yang berasal dari lintas parpol. Wallahu a’lam bisshawab.

Penulis pemerhati Dakwah dan Politik, Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, tinggal dan Mengajar di Dayah Tgk.Hasan Krueng Kale, Darussalam – Aceh Besar.