Demokrasi Super Boros dan Kebablasan

demokrasiOleh : Guntara Nugraha Adiana Poetra*

Berangkat dari fakta dan hati nurani tidak lebih mudah membangun sebuah opini publik  yang berasal dari penyakit hati yang sudah kronis, siapapun bisa terseret arus ketidakberdayaan ini bak daun yang selalu berjatuhan kala musim gugur menyapa, menguning kering lalu hancur sehancur-hancurnya, bumi dan langitpun akhirnya menangis.

Betapa banyak manusia di dunia ini yang ingin menaiki anak tangga untuk menggapai langit akan tetapi sering kali mengabaikan bumi termenung sendiri di sudut sana dan terkadang  kita lupa untuk sekedar turun menyapa dan merangkulnya, karena bagaimanapun juga kita semua sama dan berasal dariNya.

Jika melihat fenomena demi fenomena akhir-akhir ini begitu semakin memprihatinkan saja bahkan menyedihkan, mulai dari maraknya perbuatan anarkis, korupsi yang tak kunjung usai seperti ada lingkaran setan yang sistematis, sampai-sampai saya sempat bertanya pada diri ini, sampai kapan kita akan terus di bodohi, sampai kapan kita akan diperbudak oleh sistem dan sampai kapan kita akan menjadi bodoh.

Pada umumnya seseorang ketika menempuh jenjang pendidikan orientasinya adalah pekerjaan semata, lagi-lagi sistem membawa kita ke arah berpikir yang tujuannya material saja, padahal fungsi pendidikan apapun namanya seharusnya mengayakan pikiran, menjadikannya pandai berkomunikasi, diplomasi dan pandai membangun kesadaran guna Indonesia yang lebih baik, jadi seseorang yang telah lulus dari bangku sekolah bisa menjadi pribadi-pribadi mandiri, jujur dan berkarakter, bukankah ini yang sekarang dibutuhkan oleh negri yang katanya sudah lama merdeka !!!!!!

Sering kali kami berdiskusi dengan keluarga, saudara dan juga kakek yang latarbelakangnya adalah seorang birokrat murni pengabdi Negara, mereka juga  begitu prihatin melihat banyaknya kasus di negri ini, sistem yang sudah carut marut baik dari segi pendidikan, ekonomi, sosial, politik hingga masalah agama, semuanya mengalami hal yang sama yaitu kerusakan.

Sekarang ini hampir semua orang menyuarakan demokrasi, sekalipun banyak kerugian di dalamnya, pemilukada yang begitu besar pendanaanya mulai dari miliaran rupiah hingga mendekati triliunan, angka yang begitu memboroskan di tengah banyak faqir miskin dan masyarakatnya hidup di bawah garis ketidakberdayaan di tengah kebodohan yang mengitari mereka, belum lagi ditambah kerugian yang harus ditanggung negera akibat kisruh pilkada dan yang lebih di sayangkan lagi adalah jatuhnya korban jiwa.

Belum lagi sumber daya manusia yang kurang dimanfaatkan di negri yang kaya raya ini, kalau China saja bisa mengirimkan 5000 ribu calon kandidat Doktornya keluar negri dan wajib bekerja di dalam negri sebagai bentuk pengabdian dan pemanfaatan sumber daya manusia yang unggul, juga Amerika yang menjadi maju lantaran budaya membaca yang sudah mentradisi ratusan tahun silam, juga ada Iran yang mempunyai pengaruh di Asia karena syi’ahnya, Rusia maju karena komunisnya, Jepang bisa menjadi raksasa ekonomi dunia karena Shinto dan komitmennya, lalu Perancis maju karena fahamn sekulernya, seharusnya Indonesia bisa lebih maju karena banyaknya faktor yang mendukung baik dari manusia maupun hasil alamnya ditambah dengan kwantitas umat Islamnya., tapi hasilnya kita masih jauh jika dibandingkan dengan Negara tetangga apalagi Negara-negara lain pada umumnya.

Diperparah  lagi dengan penghargaan terhadap para ilmuan saja masih kurang di negri ini, kalau Israel bisa maju lantaran banyak menghasilkan Doktornya hingga berjumlah ratusan pertahunnya dengan dukungan dari pemerintahnya, di susul Amerika, Mesir, lalu bagaimana dengan Indonesia, sudahkah ada target….???? Rasanya ini masih terlalu berat kalau orientasi sekolah saja ujung-ujungnya adalah komersial, ditambah lagi begitu tinggi biaya kampus apalagi mengambil program doktor saja hingga harus merogoh kocek ratusan juta rupiah. Menyedihkan

Hampir setiap hari kita perhatikan selalu saja ada berita heboh yang membuat kita bosan, seperti kisruh pilkada, perpecahan antar kelompok, rasa tidak aman, kebodohan merajalela dan fenomena pencalegan.

Yang jadi pertanyaannya adalah…..

  1. Mereka para caleg menyalonkan atas hasrat dan ambisi personal dan minta untuk dipilih masyarakat….
  2. Atau memang di Usung oleh masyrakat luas karena layak untuk di Pilih…..

Kalau memang alasan personal, tentu ini sangat berbahaya karena bisa jadi pencalonan ini dikuasai oleh sindikat elit, mafia bisnis, para jawara atau penguasa daerah dan para ambisius yang mengandalkan materi semata.

Alhasil mereka para pemilik modal seperti para pengusaha, juragan tanah, bos-bos besar dan juga publig figur seperti para pelakon sinetron, penyanyi dangdut, komedian dan lain sebagainya, merekalah yang bakal maju di dalamnya, adapun mereka yang pintar dan mempunyai bobot, bibit dan bebet  keilmuan memimpin negri tidak bisa ikut pencalonan karena cekak alias kekurangan modal, kalaupun ikut biasanya kalah dengan para pemilik modal ataupun publig figur di kebanyakan kasus. Alangkah sayangnya….

kalaupun para caleg memang diusung, demokrasi macam apa yang ditawarkan, karena selama ini masyrakat pada umumnya hanya dijadikan komoditas politik dan bukan sebagai “Alat” yang ampuh untuk benar-benar mendewasakan politik, alangkah baiknya masyarakat tidak asal memilih, kenali calon secara utuh, karena seseorang yang minta dipilih itu sebenarnya dipertanyakan integritasnya, semakin melangit janji dan bualannya maka semakin tidak perlu dipilih.

Karena  pada umumnya kita selalu sibuk mencari sebuah “Pengakuan” agar menjadi luar biasa, padahal luar biasa adalah biasa meyederhanakan “Pencarian”. Inilah yang seharusnya difahami oleh segenap elemen masyarakat agar kita tidak selalu sibuk mencari nilai sedangkan makna itu sendiri sering kali terabaikan, ramai-ramai  dari kita meninggikan bendera partai, sedangkan bendera bernama hati nurani , akal sehat yang dibalut kebersamaan dalam bingkai persatuan direndahkan bahkan di turunkan.

Ada satu hal yang membuat dahi saya mengkerut dan  menggelengkan kepala, yaitu ketika fenomena itu hadir di provinsi tempat saya tinggal dimana idealisme sudah tidak lagi bisa diperjuangkan, yang ada hanya kepentingan politik, dengan alasan inilah demokrasi, lagi-lagi demokrasi yang dikorbankan. Kasian..

Dimana sebuah idealisme bisa luntur saat bergesekan dengan parpol atau ormas, jarang kita menemukan mereka yang betul-betul  teguh dalam pendiriannya kecuali mereka yang kembali ke “Akar Rumput” membangun sebuah komunitas yang dilandasi sebuah kesadaran membangun dan nliai-nilai kepekaan berorientasikan kebangsaan.

Yaa itulah cara instan bagi mereka yg ingin cepat menggapai ambisinya, saat hendak pulang ke kampung halaman di Tasikmalaya, terpampang jelas poster besar gubernur dan wakilnya di daerah Bandung, oh ternyata pemimpinku seorang selebriti, begitu ucapku dalam hati, saya tidak habis pikir kenapa PKS bisa menggandeng pemain sinetron untuk jadi mitra, memangnya tidak ada orang hebat di jawa barat dan yang lebih aneh lagi mereka para tim sukses dan simpatisan fanatiknya yang begitu memperjuangkannya. Alamak…

Mereka selalu menjawab karena inilah pemimpin yang paling baik diantara yang lain, itu kan versi mereka apalagi yang didukung dari kelompoknya (bagaimana mau objektif) padahal kan ada kandidat lain yang jika ditelaah, mereka benar-benar memupuni di bidang birokrasi dan ketata negaraan walapun tidak sengetop para seleb.

Beginilah saat idealisme digadaikan, syariah diganti  dengan suara, simpati saya  yang dulu ada kini semakin surut bahkan semakin hari semakin pudar kecuali idealisme itu dikembalikan pada tempatnya, partai berhaluan Islam kini sudah lama berubah menjadi partai terbuka.

Inilah salah satu alasan kenapa saya belum bisa menerima pinangan dari partai yang katanya berhaluan Islam beberapa tahun yang lalu untuk menjadi Kader partai, karena sejatinya saya belum melihat ada partai yang benar-benar mewakili Islam, yang ada malah memperjuangkan kelompoknya, namanya juga partai, pola pikir pragmatis.

Kalaupun ada, kenapa juga PKS, PKB, PBB, PPP dan partai lain yang katanya memperjuangkan Islam tidak bersatu saja, toh kalau bersatu otomatis suaranya pasti dominan di pemilu setiap tahunnya, tapi sepertinya itu tidak mudah karena yang ada hanya ego, ambisi dan perebutan kekuasaan serta pengkavling-kavlingan jemaah Islamiyah.

Teruntuk teman-teman di Tanah air sebaiknya pandai memilih dan memilah afiliasi, hindari kefanatikan buta, saling membenci satu sama lain, karena biasanya untuk menjadi seorang politikus dia harus mempunyai jiwa “Manuver”, kalau tidak, matilah dia dimakan serigala-serigala buas.

Adapun seorang dai atau pendidik, dia  harus berjiwa “Qudwah/teladan” bukan berjiwa”manuver” yang  sering kali menawarkan kefanatikan kelompok dan kebodohan masal, kalau sudah begini mau dibawa kemana arah dan haluan umat Islam d Indonesia.

Di negri ini semakin hari semakin saja banyak peraturan hingga pengawasan, mulai dari undang-undang hingga kepres serta keputusan lewat setneg, kita bisa  bayangkan berapa banyak aturan-aturan baru dibuat setiap tahunnya.
Pertanyaannya saat ini adalah..

Aturan itu dibuat seiring dengan semakin banyaknya pelanggar dan penjahat undang-undang itu sendiri, kalau di era bung Karno ada istilah P3 (Pejuang, (masuk) Penjara, (lalu jadi)  Pejabat) lain dulu lain sekarang P3 telah berubah arti seiring pengkotak-kotakan kepentingan oleh para sindikit elit yang haus akan kekuasaan ( (jadi) Pejabat, (berubah jadi) Penjahat, (ditangkap kpk lalu masuk) penjara).

Ini sudah terbukti dengan banyaknya kepada daerah, mulai dari walikota, bupati, gubernur dan pemegang kepentingan lainnya ditemani para pengusaha yang tidak jujur masuk ke dalam penjara lantaran kasus pencucian uang dan penyalahgunaan wewenang yang menimpanya, ini semua terjadi karena sistem demokrasi di kita cenderung korup yaitu mengajarkan untuk menjadi koruptur, banyangkan berapa banyak dana yang dipakai untuk kampanye dan biaya administratif lainnya, jumlahnya tentu fantastis….

Maka tak jarang para pejabat yang seharusnya menjadi pengabdi Negara mereka malah menyalah gunakan wewenangnya karena ikut dalam sistem yang salah, sebelum menjabat banyak keluar uang hingga miliaran rupiah, saat terpilih dan menjabat di tahun ke-1 hingga ke-3 mencoba untuk mengembalikan modal, alhasil itupun terjadi dan malangnya di tahun ke-4 ditangkap kpk lalu tahun ke-5nya  langsung dijebloskan ke penjara.

 

Fenomena keagamaan dan demokrasi kebablasan.
Seorang da’i, Ustadz atau apalah namanya sudah biasa jika berbicara tentang “Teks Agama”, karena sebenarnya siapapun bisa untuk berkata demikian, apalagi di zaman kekinian yang serba canggih siapa saja bisa mengcopy paste sebuah artikel-artikel religi, menonton video-video keagamaan via Youtube dan sumber teknologi informasi dan komunikasi lainnya.

Tidak masalah memang mengambil manfaat via online, yang jadi masalah adalah jika budaya asal comot ini berpengaruh pada pola pikir keagamaannya sehingga menjadikannya malas untuk membaca ke sumber aslinya apalagi jika artikel-artikel, bacaan-bacaan tersebut dijadikan justifikasi , pembenaran untuk kelompok dan afilisiasinya. (Sungguh memalukan) yang seharusnya adalah mencari kebenaran bukan pembenaran, yang lebih memalukan lagi adalah dalil-dalil agama dijadikan pembenaran untuk sebuah kesalahan personal seperti kasus yang terjadi akhir-akhir ini.

Jika kita perhatikan berita akhir-akhir  ini perihal tingginya tarif  sang  ustadz ngetop yang ini tak luput dari pengaruh demokrasi yang kebablasan dalam hal keagamaan, padahalkan tinggi rendahnya ilmu agama seseorang tidak dinilai dari ngetop atau tidaknya sang dai, bisa jadi seseorang yang sederhana dan ada d sekitar kita mereka lebih memupuni dari segi ilmu-ilmu keagamaan, hanya saja biasanya mereka tidak suka popularitas, hidupnya benar-benar dipergunakan untuk sebuah pengabdian kepada agama, bangsa dan negaranya.

Paling tidak fenomena-fenomana ini senantiasa akan mendominasi pola hidup suatu negara yang masih berkembang seperti Indonesia ini, selama masyarakatnya masih miskin, bodoh, bahkan terkesan primitif suka dengan tawuran, perpecahan dan lain sebagainya, fenomena demi fenomena ini akan tetap terlestarikan dan terjaga dengan sendirinya, karena masyrakat lebih suka dengan simbol-simbol, atribut-atribut, aneka pencitraan persis dengan apa yang diinginkan media-media komersial, karena bisa jadi seseorang yang lidahnya terlihat berdzikir dan tangannya memegang tasbih tapi hatinya ternyata membangkan kepada Allah, sebaliknya ada juga orang yang mulutnya terlihat diam tapi hatinya tenang dan senantiasa mengingat Allah, ini semua karena Islam lebih kepada “Esensi” bukan pada yang nampak saja.

Tak heran ajaran Islam hanya dijadikan dagangan layaknya merek dan produk-produk terkenal, padahal seharusnya ajaran Islam mempunyai  kekuatan dan peka dengan isu-isu kekinian seperti sosial, ekonomi, budaya, politik, artinya Islam bisa membentuk sebuah karakter suatu bangsa jika benar-benar difahami secara baik dan dengan akal yang sehat, bukan dengan sebaliknya, Islam di negri ini hanya baru sebatas menyentuh kulit luarnya saja, kecek-kecek dan belum bisa memberikan perubahan lantaran da’I da’I nya tumpul.
Dengan sendirinya ajaran Islam sebagai sebuah ideologi yang lurus kelak akan terhapuskan jika para dainya terus menerus mengikuti selera manusia dan mengejar selera pasar seiring dengan maraknya permintaan berbau komersial dan ini semua terangkum mulai dari fenomena ustadz pasang tarif gila-gilaan, sampai budaya sinetron-sinetron religi yang kadang kala terlalu berlebihan dan mengesankan Islam ajaran yang kecek-kecek, diperparah lagi dengan nuansa politik yang sering membawa-bawa umat Islam. Alangkah sayangnya

Kalau sudah begini sang da’i, ustadz, dan lainnya harus lebih peka menyampaikan isu-isu  keagamaan dan pandai memilih dan memilah topik untuk diperbincangkan, karena negri ini sebenarnya sudah  sering kali disuguhi dengan majlis-majlis dzikir nasional, tabligh-tabligh super akbar, taubat berjama’ah, tapi hasilnya sudahkah berbanding lurus dengan banyaknya uang yang digelontorkan untuk menggelar acara-acara religi!!! jawabnya silahkan direnungkan dan diamati masing-masing sebagai sebuah analisa bersama.

Selama ekonomi kita masih kurang mengijinkan, selama masyrakat masih pasif dan kurang peka dengan pendidikan, sosial, politik,  selama kita masih kehilangan jati diri atau identitas, selama rasa nasionalisme terus terkikis dan selama masih diam dengan pembodohan dan selama masyrakat masih saja bisa dibodohi oleh para sindikat-sindikat elit, mafia-mafia kasus dan para penjahat di negri ini, selama itu pula seseorang yang katanya ustadz dibantu dengan segenap masyarakat wajib sadar dan melek untuk mengubah isi ceramah kepada “KONTEKS-KONTEKS KEAGAMAAN”. Karena itu yang kita butuhkan saat ini dan seterusnya untuk membangun sebuah kesadaran dan karakter masyrakat artinya ceramah keagamaan yang selama ini kita dengar terlalu melangit harus dikebumikan agar bisa lebih dicerna dan dirasakan manfaatnya tanpa harus repot-repot mengkoceh kantong kita untuk mendatangkan sang da’I ngetop markotop. (Buang-buang uang saja dengan hal yang sedikit manfaatnya).

Sebenarnya  kita  tidak perlu repot-repot  bayar ustadz dengan biaya super tinggi, lebih baik  dananya dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat lain yang membutuhkan, seperti  berbagi kepada sesama, menyantuni faqir miskin, bantu anak putus sekolah, pembangunan tempat ibadah, dengan demikian  bangun masjid tidak  perlu lagi mengemis  ke jalan jalan, dari bis ke bis, rumah ke rumah. Insya Allah ini  akan lebih bermanfaat ketimbang biayanya dihabiskan untuk mengundang seseorang yang katanya ulama ngetop bak selebriti, bukankah Islam ajaran sosial !!!!!!!

Imam besar masjid Istiqlal Prof. Dr Mustofa Ali Ya’qub juga menambahkan perihal fenomena da’i pasang tarif, beliau dengan tegas mengharamkan siapa saja yang berdakwah meminta imbalan apalagi pasang tarif, lain halnya jika dari panitia yang memberi imbalan kepada sang Ustadz dengan sukarela bukan dengan dipinta itu sah-sah saja hukumnya tambah sang imam besar Masjid Istiqlal.

Tidak adanya otoritas keagamaan

Melihat ramai-ramai  acara keagamaan, tabligh-tabligh akbar, majlis-majlis dzikir bak kerumunan semut di lautan manisan, tapi saat adzan subuh berkumandang berapa banyak dari kita yang  tergerak untuk segera bangun dan berjamaah di masjid, Alhasil sof atau barisan-barisan mushola tidak sampai satu baris  pada umumnya, berbeda halnya saat acara tabligh akbar yang jemaahnya padat merayap dan begitu membanjiri, sekalipun  acaranya sampai  larut malam.

kala itu saya sempat mengobrol santai dengan salah satu pejabat daerah di kabupaten Bogor, ia sedikit kecewa dan menyayangkan ulah rekannya lantaran menjadi kurang disiplin dalam bekerja, sang rekan pejabat berkeloh bahwa ia habis menghadiri acara tabligh akbar di suatu tempat yang jauh dari rumahnya dan acaranya pun hingga larut apalagi yang menghiasi adalah da’I ngetop, makanya sayang dilewatkan tambahnya. Ini salah satu alasan penyebab  disiplin kerjanya menjadi berkurang, acara keagamaan pun dijadikan alasan, padahal ini tidak ada hubungannya, seharusnya semakin beragama, seseorang itu semakin maju pola hidup dan pikirnya.

Di zaman ini memang ramai-ramai orang pandai berbicara agama, yaa karena sebenarnya bicara itu mudah, yang berat itu kan mempelajari ilmu-ilmu agama apalagi harus belajar ke sumbernya di Timur tengah dan Negara-negara Arab pada umumnya.

Syeikh Ali jum’ ah yang pernah menjabat sebagai mufti Mesir di era presiden Husni Mubarok pernah berkata, konteksnya begini….

Belajar ilmu-ilmu keagamaan itu  bertahun-tahun lamanya  untuk  bicara 2 jam saja, bukan sebaliknya bicaranya  lama tapi belajarnya dalam hitungan jam…”

Kalau kita mau perhatikan bahwasanya hakikat daripada ilmu itu sendiri adalah takwa, tidak lebih daripada itu, ini sesuai dengan perkataan  ulama.

عَنِ الْفَزَارِيِّ؛ قَالَ: سَمِعْتُ الثَّوْرِيَّ يَقُولُ: إِنَّمَا يُتَعَلَّمُ الْعِلْمَ؛ لِيُتَّقَى الله عَزَّ وَجَلَّ بِهِ.

Dari al Fazaari berkata: Aku mendengar Al-Tsauri berkata: Sesungguhnya Ilmu itu dipelajari untuk bertakwa kepada Allah ‘azzawajalla.
Artinya……Islam tidak akan pernah menjadi kekuatan kalau kita sendiri belum sadar akan pentingnya kesadaran berIslam,  membangun sebuah karakter dan menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa, ceramah keagamaan di televisi, tabligh-tabligh  akbar kalau mau kita perhatikan isinya tiada lain itu-itu saja, kalaupun ada tambahan sekarang  dengan aneka  hiburan dan lawakan supaya bisa tertawa ria.

Mana hasil daripada kumpulan-kumpulan  jemaah yang menghentak mata dengan mengundang dai’dai yang katanya ngetop layaknya selebriti kalau di negri ini ternyata masih saja dihiasi oleh kaum kemah, rakyat miskin, kebodohan, pecah belah, jauh dari kata maju, ceramaah keagamaan layaknya acara pentas seni yang diselingi hiburan-hiburan (padahal yang sedang dibahas kan perkara surga atau neraka) Allahul musta’an..

Bahkan dari saya kecil isi ceramah di mushola-mushola biasanya  itu-itu saja (mengajak untuk bertakwa dan menjauhi laranganNya) bukankah begitu,!!!!!,  sekarang kita hanya perlu  mempraktekan dan konsisten menjadi pribadi yang baik.  Itu sudah cukup.

Maraknya fenomena-fenomena ini tidak lain didasari dengan tidak adaknya otoritas kegamaan yang berfungsi mengatur secara penuh oleh lembaga resmi negara, otoritas keagamaan seharusnya dikembalikan ke Kemenag Pusat, kalau di Malaysia saja ada sertifikat penceramah, apalagi di negara-arab  arab, seleksinya super ketat khusunya bagi mereka yang bisa berbicara agama di layar kaca dan minimalnya mereka harus hafal qur’an serta menguasai disiplin ilmu-ilmu Islam ditambah literaturnya, di timur tengah juga ada jaminan untuk para dai dari negara dibawah wewenang Kementrian wakaf atau kemenag jika di Indonesia, oleh karenanya jikalau kemenag mengambil alih secara utuh dibantu dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk menjadi pemegang kepentingan dalam penyeleksian dai dan para khotib di setiap masjidnya termasuk para ustadz pesohor yang sering menghiasi layar televisI, tentu  ini akan lebih baik untuk kemaslahatan bersama menuju masyarakat muslim yang madani dan berwibawa. Bukankah ini yang kita inginkan selama ini !!!!!!!!!!!!!!!!

Fenomena keagamaan di negri ini diperparah lantaran  jabatan Menteri agama  yang seharusnya  di pilih dari kalangan profesional itu malah dipolitisasi, karena  Inilah awal dari pembenahan fenomenana keagamaan di Tanah air yang semakin menggelitik saja yaitu harus dimulai dari para petinggi dan pemangku kepentingannya, setelah itu sistem-sistem yang bermasalah harus di ubah  total khususnya dalam mencari arti “What Islam Is” di negri ini seperti ada kerusakan sistem ibarat anggota tubuh yang saluran darahnya sudah tersumbat, kalau dibiarkan bisa berbahaya dan menyebabkan kematian hati masal. SEMOGA…..

* Lulusan S1 Universitas Al Azhar Mesir bidang Hadist dan ilmu-ilmunya, lulusan S2 Universitas Cidi Muhammad Bin Abdullah kerajaan Maroko bidang kaidah fiqih, pernah juga mengenyam pendidikan di Universitas Amerika bidang “Conversation” dan sekarang aktif sebagai dosen dan penggiat kajian progressif di Islamic studies center online.

Mail, facebook : [email protected]

Twitter : guntara2010