MUI Mohon Dibahas : Koreksi Waktu Awal Sholat Subuh (2)

subuhTerbitnya Fajar Sebagai Tanda Awal Waktu

Yang dimaksud dengan terbit fajar adalah tampaknya fajar itu kepada kita, bukan fajar yang belum tampak apalagi yang belum ada.

-َحَّتى َيَتَبَّيَن َل ُكُماْل َخْي ُطاْألَْبَي ُض ِمَناْل َخْيِطْاألَْسَوِد ِمَناْلَفْجِر

“Hingga tampak terang bagimu benang putih dari benang hitam. yaitu fajar.“ (QS. Al-Baqarah: 187)

-َحَّتى َيْعَتِر َض َل ُكُمْاألَْحَمُر

“Hingga membentang padamu fajar kemerahan“ (HR. Tirmidzi dan Ahmad, dari Thalq ibn Ali, hasan Shahih) Kesaksian Imam Turmudzi (279 H) pengamalan shaum (dan shalat subuh-pent) kaum muslimin didasarkan pada hadits ini, dan ini dikatakan oleh semua ahli ilmu. (Jami’ Turmudzi: 705)

-َصَّلى َرُسْوُلاهلل الُّصْب َح ِحْيَن َتَبَّيَن َلُهالُّصْب ُح.

“Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam shalat subuh ketika tampak terang pada beliau subuh (fajar shadiq).“ (HR. Nasai, 543, dari Jabir)

Mengenai ini Imam Nawawi berkata: “Umat telah berijma’ bahwa awal waktu subuh adalah munculnya fajar shadiq, yaitu fajar kedua.“ (Majmu’, 3/43)

َواْلُمَراُدالُّطُلْوُعاَّلِذْىَيْظَهُرَلَناالَاَّلِذْىِفيَنْفِسْاألَْمِر

“Yang dimaksud dengan kemunculan fajar adalah tampaknya fajar bagi kita bukan kemunculannya itu sendiri.“ (6/304)

Shalat Subuh Adalah Shalat Siang, Sebagaimana Puasa Adalah Ibadah Siang,  Imam Nawawi juga berkata:

“Shalat subuh adalah termasuk shalat siang, sedang awal siang adalah munculnya fajar kedua. Ini madzhab kami dan diucapkan oleh para ulama, semuanya.“ (3/45)

“Yang paling utama adalah menyegerakan subuh di awal waktunya yaitu jika telah terbukti (nyata) ke- munculan fajar.“ (3/51)

Para ulama menentukan fajar, ahli falak yang membuatkan jadwal Para ulama yang menentukan, ahli falak yang menghitungkan. Yang faham fajar Syar’i adalah para pewaris Nabi (para ulama) bukan ahli falak.

• Maka suatu kesalahan bila:

Ø ahli falak yang menetapkan jadwal berdasarkan fajar falaki, berseberangan dengan fajar Nabawi.

Ø para ulama melepaskan tugasnya ini dan membiarkan diurus oleh ahli falak yang berselisih tajam/ secara keliru. Menentukan Fajar Adalah Dengan Melihat Kemunculannya.

Waktu Shalat ► Musyahadah Sejak zaman Rasulullah didasarkan pada musyahadah. Abu Hamid al-Ghazali j (505 H): “Tidak boleh mengandalkan kecuali pada pandangan mata.“

Lalu Fajar yang Bagaimana?

Berdasarkan al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’, serta pemahaman salaf shalih fajar yang dimaksud adalah: Tabayyun al-Fajr ats-Tsani/al-akhir, Bayadhun Nahar, al-mu’taridh fil-ufuq,

Kalkhaithil mamdud, al-muntasyir ‘ala ruus al-Jibal, al-abyadh/ al-ahmar. Abu Muhamad Ibn Hazm Al-andalusi :

“Dia adalah permulaan sinar matahari, dan bertambah terangnya, terkadang mengandung campuran warna dengan warna merah yang indah. Dengan tabayyun (nampak terang)nya masuklah waktu puasa dan waktu adzan untuk shalat subuh dan waktu shalat subuh. Adapun masuknya waktu shalat (subuh) dengan tabayyunnya (fajar ini) maka di dalamnya dari seorang pun dari umat ini.“ tidak ada khilaf

Ibn Hazm :

“Karena Allah membolehkan jimak, makan dan minum hingga fajar itu tampak terang pada kita. Allah tidak berkata: “Hingga fajar terbit,” juga tidak mengatakan: “Hingga kalian ragu tentang fajar.” Maka tidak halal bagi siapa pun mengucapkannya, juga tidak halal mewajibkan puasa dengan sesuatu yang belum tabayyun (tampak terang) pada seseorang.”

Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H):

َوالَاْعِتَماَدِٕاالََّعَلىاْلَعَياِن،َوالَاْعِتَماَدِفياْلَعَياِنِٕاالََّعَلىٔاَْنَيِصْيَرالَّضْوُءُمْنَتِشًراِفياْلَعْرِض َحَّتىَتْبُدَوَمَباِدىالُّصْفَرِة،َوَقْد َغَلَط ِفي َهَذا َجْمٌعِمَنالَّناِس َكِثْيٌريَُصُّلْوَنقَْبَلاْلَوْقِت

“Tidak boleh mengandalkan kecuali pada pandangan mata, dan tidak mengandalkan pandangan mata kecuali atas dasar cahaya sudah menyebar dalam bentangan hingga tampak awal-awal kekuningan.

Sungguh telah salah dalam hal ini sekumpulan orang, banyak dari mereka shalat sebelum waktu.“ Abu Hamid al-Ghazali:

Setelah menyebutkan hadits Thalq Ibn Ali , ia berkata: “Ini adalah nyata dalam memperhatikan warna kemerahan.“

Lalu berkata: “Maka seyogyanya tidak mengacu kecuali pada tampaknya warna kekuningan, seolah-olah ia adalah

َفِٕاًذاالََيْنَبِغْئاَْنيَُعَّوَلِٕاالََّعَلىظُُهْوِرالُّصْفَرِةَوَكٔاََّنَهاَمَباِدُىاْلُحْمَرِة

awal-awal kemerahan.“ (Ihya` Ulumiddin, 2/132-134, Darul Fikr, cet. 2/1983)

Bagaimana Kalau Fajar Tidak Terlihat ?

• Saat bisa musyahadah hitungan falak tidak berlaku.

• Saat tidak bisa musyahadah hitungan falaki pun tidak mengikat umat.

Jadwal shalat astronomis tidak dikenal kecuali sejak 1909. sebelumnya tidak ada, hingga Imam Nawawi (676 H) dalam al-Majmu’ (3/73) dan Rawdhatut Thalibin saat membahas kondisi yang tidak dapat musyahadah ini pun mengatakan:

َلْوَعِلَماْلُمَنِّجُمُدُخْوَلْالَوْقِتِباْلِحَساِبَحَكىَصاِحُبْالَبَياِن:َاْلَمْذَهُبٔاََّنُهَيْعَمُلِبِهِبَنْفِسِهَوالََيْعَمُلِبِهَغْيُرُهواهللٔاعلم.

“Seandainya seorang ahli falak mengetahui waktu dengan hisab maka pemilik kitab al-Bayan (fil Fiqh al- Syafi‘i, syarah al-Muhadzab, 14 jilid, karya Imam Yahya ibn Abu al-Khair al-Imarani al-Yamani, 489 -558 H) mengatakan: Menurut madzhab Syafi’i ia mengamalkannya sendiri sedangkan orang lain tidak boleh mengamalkannya.“ Wallahu a’lam.

Hal sama dikutip oleh Imam Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasyqi al-Syafi‘i ( 752-829 H ) dalam Kifayatul Akhyar.

Dalam Madzhab Hanbali, al-Hajjawi al-Maqdisi tsumma ad-Dimasyqi (895-968) dalam al-Iqna’ Li Thalib al-Intifa’ (1/114):

ِِِِِِ ويعمل اْلمن ِجم ِبحساِبه جوازا وال يقلده غيره على االصح في التحقي ِق وغي ِره،

َََّْْْ ًََََََََََََُُُُُُُِّّّْْ

Hingga sekarang ini, Lajnah Daimah lilbuhuts al-ilmiyyah wal-ifta’ KSA berfatwa:

“Tidak ada nilainya bagi pembagian astronomi (tentang fajar: fajar astronomi, fajar nautika dan fajar sipil) dalam menetapkan waktu-waktu shalat, sesungguhnya yang menjadi acuan dalam masuknya waktu fajar adalah dengan munculnya cahaya yang membentang di ufuk timur, jika telah terang dan tampak jelas. Dan berakhir dengan munculnya matahari…..

Dan waktu imsak dari pembatal-pembatal puasa dimulai dengan masuknya waktu fajar yang telah dijelaskan sebelumnya, serta berakhir dengan terbenamnya piringan matahari itu sendiri meskipun masih ada sesuatu dari cahaya setelah terbenamnya.“ (keputusan Haiat Kibar Ulama no 61/1398 H)

Jadi taqwim shalat seperti yang ada sekarang ini kembali kepada 2 pakar Inggris Mr. Lehman & Mr. Melthe yang merekomendasikan taqwim Mesir pada tahun 1908-1909 M mengacu fajar falaki 19,5o.

Sebelumnya shalat subuh berdasar musyahadah al-Fajr al-Tsani. Di Indonesia kembali kepada tahun 1975-an, oleh Sa’duddin Jambek al-falaki, dengan sudut 20 derajat hanya karena kehati-hatian untuk awal berpuasa.

Kini sudut 20 derajat itu dipertanyakan karena fajar shadiq terlihat di sudut 14,6 atau 15 derajat, bukan di 18 apalagi 20.

Semoga kriteria Syaikh Jambek untuk subuh ini ditinggalkan oleh Kemenag, sebagaimana kriteria Syaikh Jambek untuk Hilal (0 derajat) tidak diikuti oleh Kemenag saat ini. (Bersambung…)