Semua Menteri Harus Dicurigai Sebagai Koruptor

Eramuslim.com

By Asyari Usman

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengatakan pada 27 November 2020 terkait penangkapan Edhy Prabowo, bahwa tidak semua orang jelek. Menurut Luhut, Edhy itu orang baik. Menko meminta agar KPK tidak berlebihan.

Berlebihan? Di mana KPK berlebihan? Lembaga musuh koruptor ini hanya menjalankan tugas pokok mereka.

Tidak ada yang berlebihan. Bahkan, KPK melewatkan banyak kesempatan untuk menangkap koruptor. Kita tidak tahu entah sudah berapa puluh orang pejabat yang lolos dari OTT KPK sejak lembaga ini dimandulkan oleh perubahan UU tentang KPK yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden Jokowi.

Tapi, sudahlah. Sekarang KPK berusaha kembali bekerja. Kembali menjalankan fungsinya. Semoga sungguh-sungguh telah dilepaskan dari kerangkengnya. Semoga juga bukan karena ‘politcal game’.

Mari kita lihat apa arti penangkapan dua menteri Jokowi lewat OTT dalam rentang 10 hari. Edhy Prabowo (menteri kelautan) ditangkap pada 25 November 2020 dan Juliari Batubara (menteri sosial) diberi rompi oranye pada 5 Desember 2020.

Dari penangkapan ini, ke mana pandangan harus diarahkan? Apa saja yang semestinya dilakukan oleh Presiden?

Tidak sulit mencari makna penangkapan kedua menteri itu. Hanya ada satu tafsiran OTT kedua menteri tsb. Bahwa dari kedua OTT ini, Presiden Jokowi harus mencurigai semua anggota kabinetnya sebagai pelaku korupsi. Sebagai koruptor. Sekali lagi: harus mencurigai. Tak peduli apakah dia Menko, menteri, atau pejabat setingkat menteri. Tanpa kecuali. Dari latarbelakang apa pun mereka.

Mengapa semua mereka wajar dan harus dicurigai sebagai koruptor? Karena selama ini, selain dua menteri yang ditangkap itu, ada sekian menteri atau pejabat setingkat menteri yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.

Tempohari ada Lukman Hakim Saifuddin (sewaktu menjabat sebagai menteri agama 2014-2019) yang dilaci kerjanya ditemukan uang tunai senilai 600 juta rupiah ketika KPK, pada 18 Maret 2019, melakukan penggeledahan di kantor Lukman terkait kasus jual-beli jabatan di lingkungan Kemenag. Entah mengapa, Lukman akhirnya lolos dari jerat KPK.

Ada pula kasus “Buku Merah”. Yaitu, kasus korupsi (sekitar Oktober 2018) yang diduga kuat melibatkan seorang pejabat tinggi setingkat menteri. Kasus ini sempat menimbulkan kericuhan di KPK karena “Buku Merah”, sebagai barang bukti, patut diduga telah dirusak oleh dua penyidik KPK yang berasal dari Polri.

“Buku merah” adalah buku berisi catatan yang berkaitan dengan perkara suap Basuki Hariman –seorang pengusaha daging. Basuki divonis menyuap mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Skandal “Buku Merah” akhirnya ditutup oleh Kepolisian. Tapi, waktu itu kuat sekali dugaan keterlibatan orang yang sangat tinggi di Polri.

Seterusnya, belum lama ini Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin nyaris terseret masuk ke kasus suap yang dilakukan oleh pengusaha terpidana korupsi, Joko Tjandra (JT). Joko diduga memberikan sogok kepada para pejabat Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam upaya untuk mendapatkan fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA).

Sekarang ini masih berlangsung persidangan Jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM). Dia ini disebut-sebut memiliki kedekatan dengan ST Burhanuddin. Ada proposal yang disebut ‘action plan’ sebesar 140 miliar untuk mendapatkan fatwa pembebasan JT. Joko menyatakan kesediaannya menandatangani kontrak ‘action plan’ itu dengan Jaksa Pinangki.

Untuk mendapatkan fatwa dari MA itu, mustahil bisa dilakukan oleh Pinangki sendirian. Sebab, diperlukan semacam rekomendasi dari Jaksa Agung. Saat ini, dakwaan jaksa PU terhadap Pinangki direduksi agar tertuju hanya kepada Pinangki saja. Seolah pemangkasan atau pembonsaian dakwaan itu dilakukan untuk melindungi orang-orang besar di Kejakgung.

Dalam babak fatwa 140 miliar ini, sangat patut diduga adanya peranan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Sebab, sekali lagi, mustahil secara administratif dan struktural Jaksa Pinangki bisa mendapatkan fatwa pembebasan JT dari Ketua MA.

Pada periode pertama, dua menteri Jokowi ditangkap KPK karena melakukan korupsi. Mereka dihukum penjara. Keduanya adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan Menteri Sosial Idrus Marham kabinet 2014-2019.

Jadi, ada empat menteri tertangkap melakukan korupsi dalam 6 tahun belakangan. Pantas diambil sebagai pelajaran besar. Mereka menjadi simbol yang sangat memalukan bagi Jokowi.

Sebagai usul saja, sebelum tertangkap lagi menteri-menteri lain, ada baiknya Jokowi melakukan terapi preventif. Cek ulang saja mereka semuanya. Bebas atau tidak dari virus korupsi. Agar virus jahat itu tidak sampai masuk ke ruang kerja Presiden.[]

8 Desember 2020
(Penulis wartawan senior)