Ini Cara Makan Ala Orang Arab

Bagaimana dengan makan besar?

Shawarma memang hanya makanan ganjal perut saja. Sementara kalau untuk makan besar, seperti makan siang (lunch) dan makan malam (dinner), tentu akan lebih besar lagi volumenya. Saya pernah menghadiri undangan makan di rumah kalangan atas dan bawah, kalangan menteri dan restoran besar dan kecil, pengusaha dan karyawan, pengusaha dan syeikh, makanannya nyaris sama, baik volumenya maupun jenis makanannya. Sungguh kuliner Arab tidak kaya: di mana-mana sama, hanya itu-itu saja.

 

Pertama, dihidangkan roti tradisional yang bernama khobez, lafa atau sakhin (kalau panas) beserta hummus, yakni saus kacang dari kedelai, tahini, bawang putih, lentini, garam, minyak zaitun, dan air lemon. Kadang diberi irisan tomat, delima (pomegranate), tortilla, atau kacang panjang atau buncis (chickpea). Cara makannya dengan menyobek roti atau sakhin itu dan menyocolkannya ke hummus lalu memakannya.

Biasanya hidangan awal ini disertai juga dengan salad fattoush, salad atau tabouleh, yang diguyur dengan olive oil. Saya perhatikan di seluruh negara yang mengitari laut mediterania jenis saladnya sama: salad Greek. Fattoush (salad yang dirajang dan lebih masam), dan tabouleh salad dari daun parsley, green onion, tomat, daun pursiane, parsley, radish, lettuce, yang diguyur dengan lemon dan olive.

Nyaris berbarengan dengan makanan pendahuluan tersebut di atas disajikan juga appetizer berupa soup, biasanya soup lentil yang panas dalam mangkok kecil. Soup ini sebagai pembangkit selera sesuai dengan namanya: appetite atau appetizing. Makanan pembuka ini saja sudah menghabiskan waktu puluhan menit, apalagi biasanya dinikmati sambil ngobrol atau pembicaraan santai. Justru seringkali makan siang (lunch) atau makan malam (dinner) ini hanya sebagai instrumen saja untuk dilakukannya suatu pertemuan untuk membicarakan sesuatu hal, termasuk, mungkin, kencan.

Setelah itu barulah dihidangkan makanan utama (main course) berupa daging kambing, sapi dan atau ayam panas, potato, atau nasi (untuk nasi biasanya harus pesan terlebih dahulu). Setelah itu yogurt, buah-buahan. Dan sebagai penutup adalah baklava yang sangat manis, Kanafeh atau Kenife, atau kue manis. dan ditutup dengan teh atau kopi. Baru selesai. Saya kira.

Biasanya orang Indonesia baru sampai pendahuluan sudah merasa kenyang. Menu utama (main course) hanya dimakan sedikit saja. Dan makanan penutup hanya dilihat-lihat saja: perut terasa sudah kenyang, tidak lagi menerima masukan.

 

Maka tidak heran jika orang Indonesia makan di restoran atau rumah makan biasanya langsung tembak pesan main course  dan tak lupa nasi. Walhasil, soup, salad, roti, dan hummus dilewati begitu saja. Di samping khawatir tidak termakan juga agar lebih lebih hemat alias irit. Apalagi kantongnya juga pas-pasan Hehehe…

Tak heran jika dibandingkan orang Arab, postur orang-orang Indonesia terhitung jauh lebih kecil dan pendek. Laki-laki Arab tinggi dan besar, rambut lebat, berjampang dan berjenggot, dan berbulu lebat di sekujur tubuh. Tangan, kaki, dada mereka berbulu sangat lebat. Sementara perempuan Arab berkulut putih, hidung panjang dan mancung, rambut panjang lebat dan tebal: ada yang hitam, merah, dan pirang. Tinggi laki-laki dan perempuan Arab jauh di atas laki-laki dan perempuan Indonesia.

Ketika bersembahyang di masjid di Lebanon kelihatan betul perbedaan postur orang Arab dan orang Indonesia. Suara mereka juga berat dan keras. Jika mengucapkan “amin” ketika khatib berdoa terdengar suaranya keras, berat, kompak, serempak, dan mantap.

Saya jarang melihat jamaah shalat jumat yang tertidur waktu khutbah disampaikan khatib. Saya menangkap kesan mereka sehat dan tegap sepanjang 10-20 menit mendengarkan khutbah dan shalat Jumat. Ada terkesan secara fisik mereka kuat dengan stamina yang tinggi.