Faedah Sirah Nabi: Perang Uhud dan Pelajaran di Dalamnya

Sejarah Perang Uhud: Kalahnya Kaum Muslim Saat Melawan Kaum Quraisy Karena  300 Pasukan Berkhianat - Serambinews.com

Eramuslim.com – Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu, pada bulan Syawal, tahun ketiga Hijriyah. Latar belakang perang ini terjadi adalah keinginan kaum musyrikin untuk balas dendam atas terbunuhnya pasukan mereka pada perang Badar.

Awal Perang Uhud

Ketika Abu Sufyan kembali dengan membawa kafilah dagangnya, ia berkata di hadapan para pembesar Quraisy, “Wahai Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah mengalahkan kalian dan membunuh pemimpin-pemimpin terbaik kalian. Bantulah aku dengan harta ini untuk memeranginya!” Mereka pun menyambut ajakan tersebut sehingga terkumpul 1.000 ekor unta dan 50.000 dinar.

Mereka pun mulai menggalang pasukan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta bantuan kepada kabilah-kabilah yang tersebar di sekitar Makkah. Mereka berangkat meninggalkan Makkah pada hari Kamis bulan Syawal dengan kekuatan 3.000 prajurit.

Al-Abbas bin ‘Abdul Muththalib telah menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginformasikan apa yang tengah terjadi. Surat itu disampaikan oleh seorang kurir dari kabilah Bani Ghiffar. Kemudian surat itu dibacakan oleh Ubay bin Ka’ab di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun meminta merahasiakannya.

Akhirnya, berita kedatangan tentara Quraisy pun tersebar di masyarakat dan membuat takut orang-orang Yahudi dan munafik. Apalagi ketika pasukan musyrikin sudah tiba mendekati Madinah membuat suku Aus dan Khazraj berjaga-jaga sambil membawa senjata di seputar Masjid Nabawi dekat dengan rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, khawatir akan adanya serangan mendadak.

Pada malam Jumat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi dan keesokan paginya, beliau ceritakan di hadapan para sahabatnya seraya berkata, “Demi Allah! Sungguh semalam aku bermimpi baik. Aku bermimpi ada beberapa ekor sapi yang disembelih, pedangku sumbing dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju perangku. Adapun sapi yang disembelih adalah terbunuhnya beberapa orang dari sahabatku. Selain itu, sumbingnya pedangku adalah tanda terbunuhnya seorang dari anggota keluargaku.”

Dari Abu Musa Al-Asy’ary, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Aku bermimpi mengayunkan pedang lalu patah, ternyata itu adalah isyarat kekalahan yang menimpa kaum mukminin dalam perang Uhud. Kemudian akun ayunkan kembali, maka pedang itu pun menjadi tampak lebih bagus dari sebelumnya, ternyata itu adalah pertolongan Allah dan bersatunya kaum mukminin. Aku juga bermimpi melihat beberapa ekor sapi, demi Allah sangat baik dan ternyata mereka adalah kaum mukminin yang terbunuh dalam perang Uhud.” (HR. Bukhari, no. 4081)

Kemudian beliau pun bermusyawarah dengan para sahabatnya dan berkata, “Bagaimana menurut kalian apakah lebih baik menetap di Madinah dan kita tempatkan kaum wanita dan anak-anak di Al-Athom. Apabila mereka (musuh) tetap bertahan, maka bertahan dalam suasana buruk. Jika mereka masuk Madinah menyerang, kita perangi mereka melalui lorong-lorong jalan yang kita kuasai dan kita serang dengan panah dari atap-atap rumah.”

Pendapat ini didukung oleh para tokoh Muhajirin dan Anshar serta pendapat dari ‘Abdullah bin Ubay.

Sedangkan sebagian besar anak-anak muda yang tidak ikut dalam perang Badar dan pemuda yang mencari syahid menginginkan untuk berhadapan dengan musuh. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, marilah kita hadapi musuh kita agar mereka tidak menganggap kita pengecut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai sikap mereka yang meminta terus menerus. Ketika mereka bersikeras dengan keinginannya itu, beliau pun mengimami mereka dalam shalat Jumat, menasihati, dan memerintahkan mereka untuk serius dan bersungguh-sungguh. Mereka pun senang untuk menghadapi musuh, sementara yang lainnya tidak menyukainya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami mereka untuk shalat Ashar, sementara mereka telah bersiap siaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahnya. Pada saat itu datanglah dua sahabat yang bernama Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair seraya berkata, “Kalian telah memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kembalikanlah keputusannya kepada beliau!” Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul dengan pakaian perangnya dan sebilah pedang yang terhunus dan tutup kepala baja. Mereka pun menyesal atas sikap mereka selama ini seraya berkata, “Kami tidak ingin menentangmu, ambillah keputusan sesuai kehendakmu, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang telah mengenakan topi bajanya untuk melepas kembali sampai Allah memutuskan antara dirinya dengan musuhnya.”

Kemudian berangkatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekuatan kurang lebih 1.000 pasukan. Ketika mereka sampai di wilayah Syauth (tempat antara Madinah dan Uhud), ‘Abdullah bin Ubay beserta 300 pengikutnya menarik diri sambil berkata, “Dia (Muhammad) telah mengikuti kemauan mereka (sahabat) dan mengabaikan aku. Untuk apa kita membunuh diri kita sendiri wahai teman-teman?” Maka ia pun kembali bersama pengikutnya dari kalangan munafik dan orang-orang yang ragu.

Di tengah perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan inspeksi pasukan, ternyata terdapat beberapa anak kecil yang belum memiliki kemampuan untuk berperang, hanya semangat saja dan keinginan untuk menjadi syuhada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak keikutsertaan mereka karena masih kecil. Di antara mereka yang ditolak adalah Samurah bin Jundab dan Rafi’ bin Khudaij. Usia mereka kala itu baru 15 tahun. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, Rafi’ itu memiliki keahlian memanah.” Kemudian beliau pun mengizinkannya. Selain itu, dikatakan kepada beliau, “Samurah dapat mengalahkan Rafi’.” Maka beliau pun mengizinkan Samurah untuk ikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan perjalanannya, seraya berkata, “Siapakah orang yang dapat mengantarkan kami ke pihak musuh lebih dekat lagi?” Abu Khaitsamah berkata, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian ia pun mengajak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melintasi bukit Bani Haritsah dan perkebunan mereka. Ketika melintasi kebun milik Murabba’ bin Qaizhi seorang munafik yang buta matanya (dharirul bashor), ketika ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya akan melintasi kebunnya ia pun melemparkan segenggam tanah ke arah para sahabat sambil berkata, “Jika kamu adalah Rasulullah, akut tidak menghalalkan masuk ke kebunku.” Sahabat pun mengepung untuk membunuhnya, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah mereka dan bersabda, “Janganlah kalian membunuhnya, sesungguhnya orang ini buta hatinya, juga buta penglihatannya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah lembah di Uhud dengan posisi membelakangi gunung Uhud dan melarang sahabat untuk berperang hingga ada intruksi.

 

Mulailah Perang Uhud

Sabtu pagi, beliau telah siap untuk berperang bersama 700 sahabat. Beliau menugaskan para pemanah yang berjumlah 50 orang di bawah komando ‘Abdullah bin Jubair untuk tetap dalam posisinya, tidak meninggalkan posnya sekalipun ia melihat pasukannya disambar burung. Posisi pemanah ini berada di belakang pasukan utama dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka mengusir kaum musyrikin dengan hujan panah agar tidak menyerang kaum muslimin dari arah belakang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tampil dengan dua baju perangnya, sementara kaum musyrikin tengah menyiapkan pasukannya. Mereka memiliki pasukan kavaleri (pasukan berkuda) dengan 200 ekor kuda. Sayap kanannya dipimpin oleh Khalid bin Walid dan sayap kirinya dipimpin oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal.

Perang diawali dengan pertarungan satu lawan satu. Thalhah bin Abi Thalhah salah satu pemegang panji orang kafir menantang untuk bertanding. Ajakan ini pun disambut oleh Zubair dengan langsung menerjangnya saat musuh berada di atas untanya hingga jatuh tersungkur lalu ditebaslah batang lehernya dengan pedangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkomentar,

إِنَّ لِكُلِّ نَبِىٍّ حَوَارِيًّا ، وَحَوَارِىَّ الزُّبَيْرُ

Setiap Nabi itu punya seorang Hawariyyun (pengikut setia). Pengikut setiaku adalah Az-Zubair.” (HR. Bukhari, no. 2846, hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Setelah itu perang massal pun berkecamuk, pedang saling berdentingan. Kaum musyrikin sempat berusaha sebanyak tiga kali untuk menembus pertahanan kaum muslimin, tetapi dapat digagalkan oleh pasukan pemanah sehingga mereka pun mundur. Umat Islam saat itu tengah diuji dengan kebaikan dan mereka mampu memperlihatkan kepahlawanannya sehingga membuat kaum musyrikin lemah tak berdaya.

 

Terbunuhnya Hamzah bin ‘Abdul Muththalib

Ali, Zubair, Thalhah, Abu Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqqash, mereka berperang dengan gagah berani. Begitu pula singa Allah dan Rasul-Nya, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Bahkan beliau sempat membunuh beberapa pembawa panji-panji kemusyrikan dari Bani ‘Abdid Dar. Namun, tiba-tiba Wahsyi yang sejak tadi mencari kesempatan untuk membunuh Hamzah melemparkan tombaknya hingga membunuhnya.

Wahsyi menceritakan peristiwa tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, “Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adi pada perang Badar. Tuanku, Jubair bin Muth’im berkata kepadaku, ‘Jika kamu berhasil membunuh Hamzah yang telah membunuh pamanku, maka kamu akan merdeka (tidak menjadi budak lagi).’ Ketika orang-orang keluar menuju Uhud untuk berperang, aku pun ikut bersama mereka. Tatkala pasukan sudah saling berhadapan, tampillah Siba’ seraya berkata, ‘Adakah di antara kalian yang berani melakukan perang tanding?’ Maka tampillah Hamzah menghadapinya seraya berkata, ‘Hai Siba’ anak induk singa yang putus ekornya! Apakah kamu menentang Allah dan Rasul-Nya?’ Maka Hamzah pun mampu membunuhnya. Aku pun menyelinap di balik batu untuk mendekati Hamzah dan kemudian aku pun melemparkan tombakku ke arahnya.”

Setelah peristiwa tersebut, Wahsyi masuk Islam dan ikut dalam perang Yamamah dan berhasil membunuh Musailamah Al-Kadzdzab dengan tombak yang sama.

 

Awalnya, Kaum Muslimin Meraih Kemenangan

Malaikat juga ikut dalam perang Uhud ini. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud dikawal oleh dua orang berpakaian putih berperang dengan gagah berani yang belum pernah aku melihat sebelumnya maupun sesudahnya.” (Fath Al-Baari, 7:358, hadits no. 4054). Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan menyatakan bahwa kedua orang yang mengawal beliau adalah Jibril dan Mikail (Fath Al-Baari, 7:358)

Kemudian Allah pun memberikan kemenangan kepada kaum muslimin. Mereka menghalau kaum musyrikin dengan pedang sehingga mengakibatkan kekalahan fatal bagi kaum musyrikin. Mereka lari tunggang-langgang, sementara kaum perempuannya meneriakkan doa kesialan dan sumpah serapah. Kaum muslimin terus mendesak mereka dan berhasil mengumpulkan ghanimah (rampasan perang) yang sangat banyak.

 

Kaum Muslimin Kemudian Kalah Karena Tak Manut Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sementara itu, pasukan pemanah melupakan pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak meninggalkan posisinya. Mereka berkata, “Ayo kita kumpulkan ghanimah! Teman-teman kita telah menang. Apa yang kalian tunggu lagi?” Abdullah bin Jubair berkata, “Apakah kalian lupa apa yang dipesankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian?” Mereka pun berkata, “Demi Allah, orang-orang pada datang untuk mengambil ghanimah.” Khalid bin Walid yang melihat pos pemanah telah ditinggalkan, maka ia pun membawa pasukan berkudanya yang diikuti oleh Ikrimah dan berhasil menempati pos tersebut setelah membunuh ‘Abdullah bin Jubair dan beberapa temannya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Dalam perang Uhud, kaum musyrikin dapat dikalahkan. Tiba-tiba Iblis la’natullah ‘alaih berteriak, ‘Hai hamba-hamba Allah kalian telah menang!’ Kemudian kaum musyrikin yang sebagian sudah lari meninggalkan medan perang balik kembali dan bergabung.”

Dari Al-Barra’ berkata, “Hari itu kami menghadapi kaum musyrikin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mengatur pasukan memanah dan menunjuk ‘Abdullah bin Jubair sebagai komandannya. Beliau berpesan, ‘Kalian jangan tinggalkan pos kalian sekalipun kami menang atau kalian melihat kami kalah tidak perlu kalian turun membantu kami.’”

Ketika perang berkecamuk, mereka (kaum musyrikin) lari tunggang-langgang. Aku melihat kaum perempuannya mengangkat gaunnya sehingga terlihat perhiasan yang ada pada betisnya. Kemudian pasukan pemanah berteriak ‘ghanimah!’. ‘Abdullah bin Jubair berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita untuk tidak meninggalkan pos.” Namun, mereka tidak mempedulikannya sehingga terbunuhlah 70 sahabat saat perang Uhud.

Abu Sufyan sangat senang sekali seraya berkata, “Masih hidupkah Muhammad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jangan kalian jawab.” Abu Sufyan melanjutkan, “Masih hidupkah Ibnu Quhafah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jangan kalian jawab.” Abu Sufyan melanjutkan, “Adakah di tengah kaum Umar bin Al-Khaththab?” Ia melanjutkan, “Kalau begitu mereka telah terbunuh. Seandainya mereka masih hidup, pasti mereka akan menjawabnya.”

Umar yang tidak mampu mengendalikan emosinya berkata, “Perkiraan kamu tidak benar, wahai musuh Allah! Semoga Allah akan selalu menghinakanmu!”

Abu Sufyan berkata, “Hidup Hubal!”

“Jawablah!” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat berkata, “Dengan apa kami harus menjawabnya?”

Beliau berkata, “Katakan Allah lebih tinggi dan mulia.”

Abu Sufyan berkata lagi, “Kami memiliki Tuhan ‘Uzza yang mulia, sementara kalian tidak memiliki kemuliaan.”

“Jawablah!” sergah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat bertanya, “Dengan apa kami menjawabnya?” Katakan, “Allah itu penolong kami, sementara kalian tidak memiliki penolong.”

Abu Sufyan berkata, “Hari ini kami telah menebus kekalahan kami pada perang Badar dan perang akan terus berlanjut. Kalian telah mendapatkan perlawanan yang seimbang, aku tidak memerintahkannya dan kamu pun tidak mampu mencederaiku.”

Bencana telah menimpa umat Islam, barisan mereka pun sempat kacau balau, sehingga kaum musyrikin berupaya untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Qum’ah, tetapi dapat dihadang oleh Mush’ab dan kemudian ia pun membunuhnya karena menduga Mush’ab adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dikira sudah mati

Tersebarlah berita kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menimbulkan kekacauan dan kelemahan barisan kaum muslimin. Ada di antara mereka yang lari meninggalkan kancah peperangan menuju Madinah untuk mengurus kembali rumah dan kebunnya. Ada juga yang naik ke gunung lalu membuang senjatanya. Ada juga yang tetap berjuang membela agamanya. Anas bin Nazhar tampil di hadapan orang-orang seraya berkata, “Apa yang membuat kalian duduk-duduk saja?”

Mereka berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh.”

Anas berkata, “Wahai kalian semua, kalaupun Muhammad telah terbunuh, maka sesungguhnya Rabb Muhammad tidaklah terbunuh. Lalu apa yang akan kalian lakukan dalam kehidupan ini sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berperanglah sebagaimana beliau berperang dan matilah sebagaimana beliau mati.”

Lalu Anas berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, dari apa yang mereka kaum muslimin katakan dan aku melepas dari apa yang dibawa oleh mereka (kaum musyrikin).” Kemudian Anas bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz, seraya berkata, “Ya, Sa’ad aku mencium aroma dari belakang Uhud.” Kemudian ia pun memasuki kancah perang yang tengah berkecamuk dan terus beperang hingga syahid.

Sedikitnya terdapat 80 lebih luka pada tubuhnya yang disebabkan sabetan pedang, tikaman tombak, dan anak panah.

Di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat beberapa sahabat Muhajirin dan Anshar yang menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindunginya. Mereka benar-benar gigih dalam berjuang. Hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas batu yang berada di atas gunung Uhud. Beliau mengalami luka yang cukup serius. Gigi beliau patah, bibir bawahnya dan keningnya robek, dua mata besi masuk melukai pipi beliau yang kemudian dicabut oleh Abu Ubaidah bin Jarrah dengan giginya hingga copot karena sangat dalamnya besi tersebut menancap pada wajah beliau.

Ketika kekalahan melanda disebabkan sikap membangkangnya para pemanah terhadap perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, banyak sahabat yang terbunuh yang kemudian dimutilasi oleh kaum musyrikin dengan cara memotong hidung dan telinga para syuhada serta membelah perut mereka dengan penuh kedengkian dan dendam kesumat.

Sedikitnya ada 70 sahabat yang menjadi syuhada dan kebanyakan mereka adalah dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur mereka pada lokasi mereka terbunuh. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimpun dua orang syuhada dalam satu baju (kafan) kemudian beliau berkata, “Siapa yang paling banyak hafal Al-Qur’an?” Apabila sahabat menunjuk salah satunya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkannya lebih dahulu ke liang lahad seraya berkata, “Aku menjadi saksi mereka kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Fath Al-Baari, 7:374, no. 4079)

Pada perang tersebut, banyak kaum muslimin yang mengalami luka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah mengubur para syuhada dan mengusir kaum musyrikin hingga Hamra Asad (gunung merah di selatan Madinah) untuk menunjukkan kekuatan umat Islam dan bahwa mereka tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi.

Peristiwa yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan alasan untuk memaki dan mencela Abdullah bin Ubay bin Salul, kaum munafikin, dan orang-orang Yahudi. Mereka berkata, “Muhammad hanya mencari kekuasaan!” Mereka pun mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Seandainya yang terbunuh bersama kami, niscaya mereka tidak akan terbunuh.”

Tentang peristiwa Uhud ini, Allah menurunkan 60 ayat dalam surah Ali Imran, diawali dengan firman-Nya,

وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ ٱلْمُؤْمِنِينَ مَقَٰعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 121), hingga 60 ayat berikutnya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.

 

Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Perang Uhud

Pertama: Ketika surat Al-‘Abbas sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana orang Quraisy, Rasulullah memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk merahasiakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya menyembunyikan sesuatu yang apabila disebarkan beritanya akan berdampak negatif sehingga diketahui oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dalam hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِسْتَعِيْنُوا عَلَى إِنْجَاحِ الحَوَائِجِ بِالكِتْمَانِ، فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ.

“Sukseskanlah penyelesaian hajat kalian dengan menyembunyikan (hajat tersebut), karena setiap orang yang memiliki nikmat pasti akan mendapatkan sikap hasad (dari orang lain)”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5:215, 6:96. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir dan tambahannya, 1:320, hadits no. 956)

Apabila seseorang memiliki agenda atau informasi yang apabila diketahui oleh orang lain akan menimbulkan mudarat, maka sebaiknya ia merahasiakannya serta tidak menceritakannya kepada siapa pun. Karena menceritakan kepada orang lain seperti misalnya kasus surat Al-‘Abbas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana Quraisy, maka akan dapat membuat orang Yahudi dan munafik senang dan membuat kaum muslimin menjadi sedih dan takut, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan persiapan yang matang untuk menghadapinya tanpa diketahui oleh pihak musuh bahwa beliau sudah mengetahui rencana mereka.

Kedua: Musyawarahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat, apakah keluar Madinah untuk menyongsong musuh ataukah tetap di Madinah dan keinginan sebagian besar sahabat untuk keluar menyongsongnya dan kemudian beliau mengambil pendapat ini menunjukkan bahwa suara mayoritas dapat dipertimbangkan, tetapi tidak mutlak.

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang telah mengenakan baju perangnya untuk menanggalkannya kembali sehingga Allah memutuskan antara dia dengan musuhnya.” (HR. Bukhari secara mu’allaq)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad harus dilakukan apabila telah direncanakan. Terutama apabila pakaian perang sudah dikenakan dan siap untuk berangkat. Tidak boleh pulang atau kembali sampai ia bertemu musuh dan memeranginya.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:211)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Berdasarkan hal ini, maka berlakulah suatu tradisi bahwa apabila sudah berencana untuk belajar dan berjihad, maka harus dilaksanakan sebagaimana berencana untuk berhaji.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 186-187)

Keempat: Persiapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berperang yang mengenakan dua baju perang secara berlapis menunjukkan disyariatkannya bertawakal dan berupaya maksimal. Tawakal itu tidak cukup hanya dengan pasrah tanpa melakukan usaha.

Kelima: Desersi (pergi dari perang tanpa permisi) yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya serta sikap senang mereka terhadap apa yang menimpa umat Islam bahwa mukmin sejati berbeda dengan munafik pendusta. Ketika Allah memberi kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar dan kaum muslimin menjadi terkenal, banyak orang yang masuk Islam secara lahiriyah saja. Sementara batinnya tidak.

Sudah menjadi hikmah Allah bahwa dengan adanya ujian, maka akan terlihat siapa yang benar-benar mukmin dan munafik. Tokoh-tokoh munafik memantau perang ini dan mereka berbicara dan menampakkan apa yang selama ini mereka sembunyikan, sehingga manusia pun terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kafir, mukmin, dan munafik. Kaum mukmin menjadi tahu bahwa di dalam negeri mereka sendiri terdapat musuh yang selalu bersamanya sehingga mereka semakin hati-hati dan waspada. Allah berfirman,

مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلْخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى ٱلْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجْتَبِى مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُ ۖ

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)

Dalam kesusahan akan terlihatlah dengan jelas antara kawan dan lawan. Di antara nikmat yang besar adalah mengenal dan mengetahui lawan sehingga bisa berhati-hati dan waspada dari kejahatan dan tipu dayanya.

Keenam: Dalam perjalanan ke Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan inspeksi pasukan, ternyata terdapat beberapa anak muda yang masih dianggap terlalu kecil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun menolaknya. Mereka sedih dengan penolakan tersebut, tetapi mereka tetap berlomba-lomba agar diizinkan dan diberi kesempatan untuk bergabung dalam jihad.

Hal ini merupakan pengaruh dari didikan (tarbiyah) islamiyah pada diri mereka ketika itu. Mendidik mereka dengan baik merupakan pekerjaan yang mulia, mengingat para pemuda adalah tiang umat dan kemajuan Islam ada pada mereka. Para pemuda harus mendapatkan didikan dan arahan yang baik dan benar.

Ketujuh: Sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa di antara kalian yang dapat menunjukkan jalan terdekat” dan perjalanan mereka yang melintasi kebun seorang munafik yang bernama Murabba’ bin Qaizhi, menunjukkan kemaslahatan umum harus didahulukan atas kemaslahatan pribadi. Kemaslahatan tentara muslimin dalam memotong jalan didahulukan atas kemaslahatan kebun orang tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hal ini bahwa dibolehkan menggunakan jalan milik orang lain bagi pemimpin dan pasukannya sekalipun pemimpinnya tidak rela selama hal tersebut diperlukan.

 

Referensi:

Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

 

Sumber : rumaysho

Beri Komentar