Gelar “Haji” Bukan Warisan Belanda

Alasan ketiga ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa pada masa lalu, terutama pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 posisi mereka yang pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah sangat penting dan strategis. Mereka yang melaksanakan ibadah haji pada masa itu, disebabkan faktor geografis, menyebabkan perjalanan haji menjadi perjalanan yang sangat penting. Perjalanan haji bukan hanya sekedar menjadi perjalanan spiritual belaka seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini setelah transportasi udara massal mudah diakses. Perjalan haji pada masa itu adalah juga perjalanan mencari ilmu dan membangun relasi internasional. Mereka pada umumnya bermukim di Mekah atau Jeddah dalam waktu yang cukup lama sebelum atau sesudah melaksanakan ibadah haji. Selama mereka berada di sana, sebagian besar menggunakannya untuk belajar dan membangun relasi internasional.

Selama mereka “ngelmu”dan membangun jaringan di Tanah Suci, terbangunlah kesadaran tentang kondisi tanah air mereka yang sedang terjajah sama seperti di belahan dunia Islam yang lain. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kolonial Belanda banyak tokoh yang sepulang haji tampil menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang memapu mempengaruhi masyakarat untuk melawan pemerintah Belanda. Salah satu yang cukup penting adalah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat yang sekaligus menjadi motor perlawanan terhadap Belanda, yaitu kaum Padri. Cristian Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 (2008: 198-202) menjelaskan bahwa munculnya para pemimpin Padri dan pengaruh mereka terhadap masyarakat tidak terlepas dari pengaruh yang didapatkan dari kawasan Hijaz sepulang haji. Pengaruh ini bahkan semakin kuat hingga mampu menggerakkan masyarakat untuk angkat senjata melawan Belanda pada Perang Padri (1833-1838).