Gelar “Haji” Bukan Warisan Belanda

Pengaruh gerakan para haji ini semakin menguat memasuki abad ke-20. Hasil ngelmu di Mekah dari guru-guru mereka dan kenalan mereka sedunia menginspirasi para haji ini untuk membuat suatu terobosan gerakan baru selain gerakan militer seperti para pendahulu mereka. Pendekatan baru yang dimaksud adalah pendekatan politik dengan cara mendirikan organisasi-organisasi gerakan yang cukup efektif untuk mendapat dukungan rakyat secara langsung. Mula-mula Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905; lalu Hadji Oemar Said Tjokroaminota memperluas cakupan politiknya dengan mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911. Setahun berikutnya 1912 Haji Ahmad Dahlan yang pernah tinggal cukup lama di Mekah mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berfokus pada pendidikan dan kegiatan sosial untuk membentengi umat dari pemurtadan. Tahun 1923 di Bandung Haji Muhammad Yunus dan Haji Muhammad Zam-zam mendirikan Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim mendirikan Persyarekatan Ulama di Majalengka, dan contoh-contoh lain yang jumlahnya cukup banyak. Gara-gara haji ini juga, para pengasuh pesantren akhirnya menempuh jalan para aktivis Islam dengan mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926.

Munculnya gerakan-gerakan Islam tersebut semakin menekan posisi politik Belanda di tanah jajahannya ini. Oleh sebab itu, Belanda berusaha untuk menekannya supaya tidak berbahaya. Masuk akal bila tahun Ordonansi Haji tahun 1859 membatasi dan cenderung melarang penggunaan gelar “haji”, karena masyarakat memang amat menghormati gelar ini sejak lama. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa gelar “haji” bukan pemberian Belanda, melainkan budaya yang sudah melekat lama di kalangan kaum Muslim di Indonesia. Wallâhu A’lam.

Penulis; Tiar Anwar Bachtiar (Doktor Sejarah Universitas Indonesia)

Sumber; Jejak Islam