Nasib Warga Irak yang Menjadi "Penjilat" Tentara AS

Sinan al-Halabsa (51 tahun) berencana untuk meninggalkan Fallujah setelah tentara AS mundur dari 25 pangkalan di wilayah tersebut, dan meninggalkan hanya 3 pangkalan yang tidak berhubungan dengan penduduk lokal.

Sedangkan Al-Halabsa, seorang pemimpin suku, telah menerima ancaman kematian dari kelompok-kelompok pejuang dan warga setempat sejak Amerika mundur dari wilayah itu pada pertengahan 2009 karena dukungannya kepada "musuh" (pasukan AS) selama dua tahun.

"Ketika saya memutuskan untuk mendukung pasukan AS, saya berharap negara ini akan menjadi lebih baik jauh dari tindakan teroris manapun," katanya kepada IslamOnline.net.

"Saya bergabung dengan Dewan Kebangkitan berharap untuk dapat mengusir al-Qaidah dan kelompok militan lain yang menyerang warga sipil tak berdosa dari Anbar, tetapi semua upaya yang saya lakukan tidak dipandang baik oleh penduduk setempat dan juga tidak dihargai oleh orang Amerika."

Dewan Kebangkitan, atau Sahwa Grup, merupakan kelompok paramiliter Sunni lokal yang pro pemerintah yang memainkan peranan penting dalam mengalahkan tindakan dan aksi kelompok Al-Qaidah di Irak.

Paramiliter ini, bekerja dengan dan didanai oleh tentara AS, mampu mengusir Al-Qaidah dan militan asing dari beberapa benteng di daerah berpenduduk Sunni.

"Sejak dewan Kebangkitan dibentuk, niat kami adalah untuk membantu semua orang Irak, tapi sepertinya kami berubah menjadi penyerang," kata Al-Halabsa.

Seperti banyak pemimpin Kebangkitan yang lain, dirinya telah menerima berbagai ancaman kematian.

"Saya harus mengirim keluarga saya ke Baghdad dan segera menyuruh mereka pergi ke luar negeri," katanya.

"Irak tidak aman lagi bagi kami."

Al-Halabsa tinggal di sebuah rumah besar di Fallujah dengan dua pengawal, seorang tukang kebun dan pembantu rumah tangga.

Dia tidak meninggalkan rumah karena mobilnya hancur tertembak pada dua bulan yang lalu saat mengunjungi sepupunya di pusat kota.

"Saya akan segera kehabisan uang dan tidak akan mampu membayar pengawal. Saya hanya berharap untuk dapat meninggalkan negara ini sebelum keluarga saya juga kehilangan dukungan dari mereka."

Dikhianati

Al-Halabsa merasa dikhianati oleh Amerika.

"Mereka pergi, membelakangi kami dan sedikitpun tidak mengkhawatirkan kami bahwa kami akan ditinggalkan tanpa perlindungan dan dengan ribuan musuh," katanya dengan kesal.

"Jika kami membantu untuk mewujudkan lebih banyak keamanan di provinsi Anbar, sekarang kami menderita atas konsekuensi hal tersebut, tanpa siapa pun yang akan menjaga kami."

"Amerika telah mengkhianati kami," kata Al-Halabsa.

"Mereka berjanji memberikan perlindungan dan sekarang kami ditinggal untuk menerima konsekuensi dari dukungan kami kepada mereka."

Ibraheem al-Dulaimi, yang dulu bekerja sebagai penerjemah bagi pasukan Amerika di Anbar, mengalami dilema yang sama.

"Ketika saya memutuskan bekerja sebagai penerjemah bagi pasukan AS di Anbar saya mendapat banyak janji-janji dan di antara mereka adalah bahwa saya akan aman setelah mereka meninggalkan negara ini," katanya kepada IOL.

"Saya diberitahu bahwa jika saya berada dalam bahaya keamanan, mereka akan membantu saya untuk meninggalkan negara ini."

Al-Dulaimi sekarang terpaksa meninggalkan rumahnya dan tak satu pun dari teman-teman lama Amerikanya bersedia untuk membantunya.

"Saya harus meninggalkan rumah beserta keluarga saya dan mencari tempat yang aman di Kurdistan."

Anak-anak muda Irak pun merasa dikhianati oleh Amerika.

"Saya seperti banyak orang Irak lainnya yang mengalami situasi yang sama. Para pemimpin suku, penerjemah, sopir, atau siapa saja yang dulu pernah terlihat bekerjasama dengan tentara Amerika sekarang telah menjadi musuh penduduk setempat dan menjadi sasaran yang sempurna bagi kelompok-kelompok perlawanan.

"Saya hanya bisa berdoa untuk beberapa hari ini sebelum saya mengemasi semua barang-barang saya dan pergi Ramadi tanpa melihat ke belakang lagi."

Abu Ahmed, yang menolak untuk memberikan nama lengkapnya untuk alasan keamanan, tidak begitu beruntung.

"Putra tertuaku berumur 23 tahun telah diculik dua minggu setelah pasukan AS meninggalkan kawasan dan mereka para penculik meminta tebusan 20.000 dolar," katanya kepada IOL.

"Saya membayar uang tebusan beberapa jam saya menerima telepon yang meminta tebusan dan dua hari kemudian tubuh anak saya ditemukan kepalanya terpenggal di pinggiran Ramadi dengan pesan yang ditulis di tubuhnya:" anak seorang pengkhianat. "

"Saya telah membayar untuk sesuatu yang bertentangan sejak saya mulai bekerja dengan Amerika," seru sang ayah.

"Seharusnya saya yang dibunuh, bukan dia."

Abu Ahmed membawa keluarganya ke Baghdad dan mereka berencana untuk melarikan diri ke luar negeri setelah menjual rumah mereka.

Ia mencoba untuk meminta dukungan dari Amerika namun hanya diberi goyangan bahu tanda tidak bertanggung jawab.

"Mereka mengambil keuntungan dari kami. Kami memberi mereka perlindungan dan dukungan mereka ketika diperlukan. Inilah yang kami dapatkan dari mereka."(fq/iol)