Tentara-tentara Muslim dalam Pasukan Zionis Israel

Konflik Arab-Israel identik dengan Yahudi yang memerangi kaum Muslimin di Palestina. Tapi pandangan itu tidak sepenuhnya benar karena dalam kemiliteran Israel ada tentara-tentara Muslim. Mereka adalah Muslim Badui yang juga ikut mengangkat senjata memerangi saudara-saudara seiman mereka di Jalur Gaza dan Tepi Barat jika Israel menggelar operasi militer.

Muslim Badui sebenarnya tidak wajib untuk ikut dalam dinas kemiliteran Israel seperti warga Israel lainnya yang memang kena wajib militer. Tapi banyak Muslim Badui yang dengan sukarela mendaftarkan diri ke angkatan bersenjata Israel. Salah seorang Muslim Badui bernama Mayor Fehd Fallah mengaku senang dengan tugas yang diembannya sebagai tentara Zionis, siapapun lawan yang harus dihadapinya dalam pertempuran.

"Saya akan melakukan apapun yang diperintahkan pada saya dengan penuh keyakinan untuk mengabdi pada negara Israel," ujar Mayor Fallah pada BBC.

Fallah mengatakan bahwa ia juga ikut bertempur melawan Muslim di Gaza dalam operasi Cast Leads bulan Januari 2008 lalu. "Dan saya siap bertempur lagi jika saya memang harus melakukannya. Muslim di Israel yang tidak mau masuk dalam angkatan bersenjata Israel seharusnya malu karena tidak mengabdi pada negaranya," sambung Fallah enteng.

Orang-orang Badui Israel mayoritas beragama Islam dan berbahasa Arab. Mereka adalah orang-orang nomaden (yang hidupnya berpindah-pindah tempat) dan dulunya menjadi bagian dari masyarakat Palestina. Tapi sekarang, kebanyakan Muslim Badui lebih bangga menjadi bagian masyarakat Israel dan disebut orang Israel.

Kolaborasi antara kaum Yahudi dan suku Arab Badui sudah terjalin sejak sebelum berdirinya negara ilegal Israel tahun 1948. Berawal pada tahun 1946 ketika pemuka Arab Badui, Abu Yusuf Al-Heib mengirimkan lebih dari 60 orang-orangnya untuk membantu pasukan Zionis bertempur melawan orang-orang Arab di Galilea.

Kesetiaan Arab Badui pada Zionis masih tercermin pada sikap Mayor Fallah yang hingga kini lebih senang menggunakan bahasa Ibrani dibandingkan bahasa "ibu"nya, bahasa Arab. Di desa-desa suku Badui, terutama di wilayah utara Israel, menjadi tentara Israel bahkan sudah menjadi semacam tradisi keluarga.

"Menjadi tentara Israel sudah menjadi warisan turun temurun dari satu generasi ke generasi dalam keluarga saya. Ayah saya dan kakek saya juga mantan tentara Israel," kata Mayor Fallah.

Kemiliteran Israel tidak bersedia memberikan data berapa jumlah orang non-Yahudi yang menjadi tentara Israel. Mereka hanya mengatakan bahwa setiap tahunnya ada ratusan Muslim, Kristiani dan kalangan Druze yang mendaftarkan diri ke dinas kemiliteran dan jumlahnya terus meningkat pasca serangan brutal Israel ke Jalur Gaza tahun 2008.

Kolonel Ahmed Ramiz, seorang Druse, adalah komandan yang bertanggung jawab untuk kelompok minoritas di kemiliteran Israel. Menurutnya, khusus untuk Muslim Israel tidak ada kewajiban untuk ikut dalam dinas kemiliteran demi menghindari potensi konflik yang akan timbul, yaitu konflik antara statusnya sebagai Muslim dan sebagai warga Israel.

Meski demikian, militer Israel tetap membuka kesempatan bagi Muslim Israel yang ingin menjadi tentara Israel dan mereka dibolehkan bekerja di semua unit kemiliteran termasuk pasukan elit.

Tapi tidak semua Muslim Israel yang memutuskan menjadi tentara Zionis karena alasan kebanggaan sebagai warga negara Israel. Maher, seorang Muslim Badui mengungkapkan alasan yang berbeda. Ia mendaftarkan diri menjadi tentara Israel dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah, meski kenyataannya berbeda. Kini ia bekerja sebagai guru olahraga paruh waktu, setelah sebelumnya bekerja di unit pendidikan kemiliteran Israel.

"Ketika saya di kemiliteran, mereka bilang saya akan mudah mendapatkan pekerjaan jika pernah menjadi tentara. Saya mencoba melamar pekerjaan tapi ternyata tidak mudah. Mereka yang Muslim tidak mau menerima saya karena saya pernah menjadi tentara Israel, sedangkan orang Yahudi lebih senang memberikan pekerjaan pada sesama Yahudi," keluh Maher.

Ia merasa terperangkap masuk ke angkatan bersenjata Israel. Meski pihak Israel menyatakan tidak ada kewajiban bagi non-Yahudi terutama Muslim untuk wajib militer, kenyataannya mereka yang non-Yahudi dan Muslim harus menghadapi pilihan apakah menjadi tentara atau bekerja di komunitas non-militer, agar tetap bisa mendapatkan dana bantuan pendidikan atau dana bantuan soial untuk keluarga mereka.

Maher mengaku harus menghindari mengenakan seragam tentara Israel jika berada di desa-desa Arab yang penduduknya bukan Arab Badui, agar tidak dicemooh sebagai pengkhianat atau menghadapi ancaman serangan fisik.

"Mengabdi pada Israel, dihina. Tidak mengabdi juga dihina," keluh Maher serba salah. (ln/bbc)