Dapur Ramadhan


Bulan puasa buat sebagian keluarga kadang seperti pertarungan antara berkah dan musibah. Berkah ketika anugerah terasa berlimpah. Dan musibah saat pengeluaran bisa dua kali lipat dari bulan biasa. Masalahnya, tidak semua siap ketika keadaan dikuasai musibah.

Pertarungan di bulan Ramadhan ternyata tidak cuma antara nafsu dan keimanan. Masih banyak pertarungan lain. Ada pertarungan antara semangat ibadah dengan kantuk yang tidak tertahankan, antara target ibadah dengan kemampuan diri. Juga, antara tuntutan dapur dengan kemampuan kantong.

Buat pertarungan yang terakhir memang nyaris tak ada hubungannya dengan nuansa Ramadhan. Apa hubungannya Ramadhan dengan dapur. Ramadhan urusan ibadah, dapur soal logistik keluarga.

Apalagi jika melihat nuansa Ramadhan yang lebih Islami. Bukankah semestinya puasa menggiring orang lupa sementara dengan yang namanya dapur. Sepanjang hari orang dididik tidak berpikir soal makanan. Kalau pun malam, konsentrasi tertuju pada tarawih, tilawah Quran, qiyamul lail, dan munajat pada Allah. Makanan cuma teringat ketika bedug maghrib dan menjelang subuh. Itu pun sekadarnya.

Namun, kenyataan kadang punya wajah lain dari sebuah idealita. Buat sebagian orang, justru Ramadhan tergolong pemecah rekor pengeluaran keluarga. Ada yang dua kali lipat, tiga kali, bahkan empat kali. Benarkah? Setidaknya, keadaan itulah yang kini dirasakan Bu Titi.

Kalau dihitung, sudah enam kali ibu tiga anak ini merasakan indahnya Ramadhan bersama suami dan anak-anak. Terasa lain, memang. Sangat berbeda ketika bulan puasa selagi lajang. Saat ini, puasa menjadi lebih bermakna. Di samping tenaga bisa lebih optimal, kesabaran pun bisa lebih teruji.

Ujiannya bukan lagi sekadar pertarungan antara nafsu dengan keimanan. Tapi lebih beragam dan terasa. Ada ulah anak-anak yang mengundang marah. Bayangkan, ketika tenggorokan kering menanti saat-saat sentuhan lembut es buah; mangkoknya tiba-tiba tumpah. Tak sesendok pun es tersisa. Bedug Magrib yang semestinya disambut gembira, jadi terisi marah. Yah, dasar anak-anak. Kapan pun bisa bikin ulah.

Belum lagi dengan kesibukan ekstra. Di bulan biasa, sulit bisa membayangkan bisa bangun setengah tiga pagi cuma untuk masak. Mata yang agak perih karena kurang tidur, jadi lebih terasa dengan asap gorengan bumbu dapur. Di bulan puasa, semua jadi bisa. Bahkan biasa. Subhanallah!

Termasuk biasa dengan persoalan baru yang masih seputar dapur. Entah kenapa, Bu Titi merasa kalau jatah uang dapurnya kok cepat habis. Ia benar-benar heran. Apa ia sendiri yang terlalu semangat memasak. Sehingga, apa pun mau dimasak, tanpa melihat anggaran. Kayaknya nggak. Bu Titi yakin sekali kalau irama masaknya masih tergolong normal: dua kali sehari. Bahkan, tak jarang cuma sekali. Ini terjadi karena beberapa hari sebelumnya sudah bisa dipastikan kalau buka puasa tidak di rumah. Tapi, ada undangan dari teman pengajian. Otomatis, dapur berikut logistik pindah ke rumah teman. Enak kan? Sudah hemat, bisa jadi perantara turunnya pahala buat sang teman.

Hitung punya hitung, Bu Titi baru tersadar kenapa anggaran dapurnya sudah mulai kerontang di tanggal sebelasan. Titik masalahnya ada di mutu masakan. Kalau di bulan lain, daging dan ayam tergolong tamu kehormatan yang datangnya satu dua kali sebulan. Tapi di bulan puasa, bisa tiga kali seminggu. Belum makanan pendamping. Ada kolak, bubur kacang ijo, es buah, dan kopi susu buat suami.

Ingin sekali Bu Titi mengadu ke suami. Tapi, gimana mungkin. Suaminya begitu sibuk. Selepas salat subuh sudah berangkat. Pulangnya bisa malam. Apalagi di hari-hari begini. Suaminya sudah konsentrasi penuh di masjid buat sepuluh hari. Kan nggak mungkin mendatangi masjid tempat suami i’tikaf cuma buat minta tambahan uang dapur. Belum tentu suami BuTiti pegang uang banyak.

Belum sempat kebingungan Bu Titi reda, ibu mertuanya berkunjung. “Ti, ibu minta tolong. Kamu mau kan bikinin ibu ketupat sayur lebaran. Ibu lagi nggak enak badan, Ti. Mau ya?” ucap mertua Bu Titi singkat. “Eh, satu lagi, Ti. Ibu kangen lho sama kue nastar buatan kamu. Jangan lupa, ya?!” tambah mertua Bu Titi. “Insya Allah, Bu!” balasnya lebih singkat. Sesingkat putaran kebingungannya yang kian menjadi.

Bu Titi mulai pusing tujuh keliling. Kemana ia mesti nyari tambahan dana. Nggak mungkin ia bilang, “Uangnya mana, Bu?” Masak setahun sekali bantu orang tua mesti pake’ panjar. Di bulan Ramadhan, lagi. Syukurnya, baju lebaran anak-anak sudah disiapkan sebelum Ramadhan datang.

Tidak ada jalan lain, kecuali pinjam uang. Masak sih teman pengajian nggak mau bantu saudaranya yang lagi kesusahan kayak gini. Terpaksa, Bu Titi pinjam uang sebesar lima ratus ribu ke teman. Alhamdulillah, Allah memudahkan urusan Bu Titi. Sang teman langsung setuju.

Kenapa lima ratus ribu? Apa nggak kebesaran cuma buat ketupat sayur dan kue nastar. Bu Titi sadar betul kalau ibu mertuanya begitu perfect soal masakan. Judulnya memang ketupat sayur. Tapi, mesti ada pendampingnya kan. Setidaknya ada gulai ayam. Begitu juga dengan nastar. Nggak mungkin ngasih yang asal-asalan. Bahan-bahannya harus yang bagus. Belum lagi buat anak-anak dan suami. Nggak lucu berlebaran tanpa kue. Gimana kalau ada tamu. Lagi-lagi, lima ratus ribu rupiah cuma bisa bertahan buat dua hari.

Takbir menggema di seantero kampung. Termasuk di rumah Bu Titi. Selepas salat Isya, ia dan anak-anak bertakbir bersama. Mereka juga menanti sang ayah yang tak lama lagi datang.

Malam mulai larut ketika Bu Titi bisa curhat ke suami. Ingin ia ceritakan semua pengalamannya di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Soal anak-anak, dapur, ketupat mertua, kue, dan duit pinjaman.Tapi, suaminya lebih dulu bicara. “Subhanallah, Ti. Indahnya suasana i’tikaf. Saya jadi luluh. Ingin rasanya membantu semua orang yang kesusahan.”

“Terus, gimana THRnya, Mas?” sergah Bu Titi agak khawatir. “Itulah, Ti. Mas bersyukur bisa dapat kesadaran itu. Uangnya sudah Mas sedekahin buat fakir miskin di sekitar masjid. Alhamdulillah. Mas akhirnya bisa berkorban buat orang yang membutuhkan!” cerita suami Bu Titi begitu tenang. Tinggallah Bu Titi bingung mau bilang apa.