Satu dari Banyak Kesetiaan

Menikah dengannya adalah pelajaran keikhlasan. Menerimanya disembilan tahun yang lalu adalah sebuah berkah bakti yang kutujukan padaNya. Memenuhi amanah yang tidak hanya menjadi istri baginya tapi juga menjadi ibu bagi anak-anaknya bahkan menjadi manager setia dikehidupan keluarganya adalah sebuah kesyukuran tiada tara.

Tak menyesal ketika sampai diakhir hayatnya aku sanggup mendampinginya, karena mendampinginya adalah sebuah hadiah yang luar biasa. Mendampinginya dalam do’a, ikhlas dan kesabaran adalah hadiah terindah yang pernah aku miliki.

Penyakit yang ia rasakan seperti merasuk dalam tubuh dan jiwaku. Aktivitas berpindah dari dokter satu ke dokter lainnya, berpindah dari rumah sakit ternama, terkenal sampai tersederhana pernah aku jalani bersama. Aku lakukan dengan satu alasan, bahwa aku ingin bersamanya lebih lama. Walaupun, aku menyadari semua akan kembali berpulang kepadaNya.

Tak lepas do’a dibarisan detikku, tak lepas hapusan airmata yang kuderai dimalam heningku, hanya untuk meminta padaNya, biarkanlah aku merawatnya lebih lama, biarkanlah aku tetap mengusap wajah teduhnya disetiap akhir sujudku, biarkanlah aku mendo’akannya lebih lama hingga dihati ini cuma ada sabar dan sabar, biarkanlah ia merasai rasa bahwa aku masih tetap mencintainya dan aku benar-benar memberi bakti untuk mencintainya. Bilapun bisa, jadikan aku pendamping pertama yang menyaksikan kepergiannya dalam hidup dan senyum terakhirnya.

Menerimamu dalam sakitmu adalah cara Allah mencintaiku. Menerimamu dalam sakitmu adalah cara Allah memberi pelajaran berharga. Menerimamu dalam sakitmu adalah cara Allah agar aku lebih dekat denganNya. Aku memang bukan wanita sholihah yang sama seperti kisah yang pernah kudengar dari semua Ustadz, ustadzah yang ada di TV ataupun dipengajian yang pernah dan sering aku ikuti. Aku tidak mungkin bisa dibandingkan dengan wanita yang pernah kau ceritakan padaku, tentang wanita yang mampu menjadikan anak-anaknya sebagai seseorang yang terkenal, tapi aku hanya mampu menjadikan anak-anakmu sebagai pengantar do’a khusus untukmu dalam setiap sujud mereka. Aku juga bukan wanita berjilbab rapi seperti yang pernah kau sampaikan padaku ketika kau bertemu keponakan perempuanku disembilan tahun yang lalu. Tapi aku adalah aku, wanita yang belajar mencintaimu disejak menerimamu sebagai pendamping jiwaku. Dan akupun hanya mampu membuktikan baktiku dipendampinganku selama ini.

Melepasmu diwaktu adzan jum’at itu membuat aku tak pernah percaya. Melepasmu dalam tenang dan teduh wajahmu membuat aku ingin tetap mengusap wajah ramahmu. Melepasmu setelah sembilan tahun kebersamaan adalah tak sanggup aku lakukan. Tapi, apa yang mampu aku lakukan, kecuali aku mengingat bahwa segala sesuatu akan diambil oleh Sang empunya. Apa hakku hingga aku ingin menghalangi, karena aku pun ada yang memiliki dan akupun akan kembali padaNya tanpa aku tahu kapan dan dimana.

Di setiap detik hari inipun aku masih mencatat dengan rapi, bahwa menerima dan melepasmu adalah hadiah terindah. Jikapun setia ini adalah satu dari banyak kesetiaan, maka inilah yang mampu aku lakukan, dan aku berharap inilah hadiah terbaik yang pernah aku berikan untukmu selama mendampingimu hingga keberkahan Allah menjadi lapangan hijau yang penuh kebaikan untuk aku dan anak-anak yang kau amanahkan ditanganku.

Karena diantara semuanya, aku ingin selalu mengungkapkan permintaan hatiku agar dapat selalu mendampingimu.

(Sebengkok AL, Tarakan)