Simpul-simpul Rezeki

Pada mulanya, kami tidak berniat untuk berpartisipasi sebagai peserta pada hajatan Islamic Book Fair ke-8 tanggal 28 Februari hingga 8 Maret 2009 lalu. Namun, seorang sahabat yang telah membooking 3 stand beberapa bulan sebelumnya, membagikan satu stand untuk kami. Akhirnya, kami pun berpartisipasi sebagai peserta untuk kategori multi-produk (non-buku) dengan menempati satu stand sahabat kami yang berukuran 3 x 3 meter itu.

Berbeda dengan hajatan Islamic Book Fair tahun-tahun sebelumnya, kali ini peserta yang menjual produk non-buku ditempatkan pada lantai dua gedung Istora Bung Karno, Senayan. Dengan digunakan lantai 2 sebagai ajang pameran, maka otomatis stand yang disediakan oleh panitia lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Alhamdulillah, hasil penjualan yang kami peroleh dari hajatan Islamic Book Fair tersebut mampu menutupi ongkos-ongkos yang kami keluarkan untuk membayar stand dan operasional pameran. Semua itu adalah kemudahan dari Allah. Saya sendiri sangat merasakan bahwa apa yang kami peroleh adalah sebagian dari tanda kemurahan Allah SWT atas karunia rezeki yang Dia miliki.

Namun ternyata, ada beberapa peserta yang mengalami nasib tidak seberuntung kami. Ada yang merasa tekor alias keuntungan yang diperoleh tidak mampu menutup biaya operasional yang dikeluarkan. Mereka merasakan hajatan Book Fair tahun 2009 lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meski pengunjung yang datang mencapai jumlah yang ditargetkan panitia, namun perolehan hasil penjualannya tidak sebanding dengan jumlah pengunjung yang datang.

Kami pun memaklumi bahwa kondisi krisis kali ini boleh jadi yang menjadikan daya beli pengunjung menurun sehingga jumlah transaksi pembelian yang dilakukannya tidaklah begitu besar. Katakanlah seorang pengunjung yang dulunya mampu membeli banyak buku atau non-buku, kali ini hanya membeli satu buku atau satu produk non-buku. Syukur dia masih melakukan transaksi pembelian. Saya yakin, tidak sedikit yang hanya sekedar melihat-lihat saja (sight seeing) karena keterbatasan keuangan.

Adapun lokasi stand yang berada di lantai dua, menurut kami bukanlah merupakan penyebab signifikan atas terjadinya penurunan penjualan yang dialami oleh sebagian sahabat kami. Meski ada beberapa pengunjung yang merasa "kehilangan" akan stand non-buku saat mereka berkeliling di lantai satu, namun mereka yang telah terbiasa berkunjung di arena Islamic Book Fair dan berniat berbelanja produk non-buku, pasti dengan mudah bertanya kepada panitia atau peserta pameran atau orang-orang sekitar arena pameran.

Kami hanya bisa mengambil hikmah, bahwa keuntungan atau kerugian dalam berniaga adalah hal yang biasa. Namun semua itu tidak luput dari kesiapan dan strategi penjualan dari masing-masing peserta. Peserta yang mampu menyajikan produk yang menarik, kualitas terbaik, mengikuti tren yang berkembang di masyarakat, dan berani memberikan diskon besar untuk pengunjung pameran, maka produk mereka itulah yang mampu memikat hati pengunjung sehingga mereka merasa sayang untuk tidak membeli produk yang ditawarkannya.

Melihat kondisi beberapa sahabat yang mengalami ketidakberuntungan itu, kami makin mensyukuri apa yang kami peroleh. Kami merasa bahwa apa yang kami peroleh itu adalah semata-mata kemurahan dari Allah SWT.

Terbayang saat beberapa pekan sebelum hajatan Islamic Book Fair dilangsungkan, kami mengalami sedikit kesulitan keuangan berkait dengan persiapan dana untuk pendaftaran sekolah anak kami dan sumbangan biaya operasi buat orang tua yang mengalami patah tulang akibat jatuh dari tangga. Kami sempat hilang harapan karena tidak memiliki sumber penghasilan lain guna menutupi keperluan tersebut. Akhirnya kami menguatkan optimisme dan menyandarkan harapan sepenuhnya kepada Allah SWT bahwa Insya Allah melalui hajatan Islamic Book Fair ke-8, Allah SWT akan membukan pintu rezeki-Nya bagi kami.

Ketika harapan itu terpenuhi, semakin yakinlah kami bahwa sebenarnya Allah SWT itu selalu beserta dengan hamba-Nya. Allah SWT lebih dekat dari siapapun dan selalu memberikan hal terbaik untuk hamba-Nya.

Hanya saja, seringkali kita tidak menyakini akan kebesaran Allah SWT tersebut. Atau kita menyakini namun dengan cara yang tidak bijak. Bentuk dari ketidakbijakan itu antara lain kita tidak mengoptimalkan ikhtiar, baik dengan mengerahkan tenaga dan pikiran, berdoa, bersedekah dengan amal kebaikan atau harta, dan segala cara yang mampu melahirkan keridhoan-Nya.

Itulah barangkali yang disebut simpul-simpul rezeki. Secara fisik kita dianjurkan memperbanyak pintu-pintu usaha/bisnis yang menjadi pintu masuk aliran keuangan, dan secara non-fisik kita dianjurkan memperbanyak amal kebaikan yang kadang dianggap sepele karena tidak mendatangkan uang secara kasat mata. Sahabat kami yang merasa rugi selama pameran, tentu bukan berarti tidak memperoleh limpahan rezeki. Selama ia menerimanya dengan ikhlas, Insya Allah, cepat atau lambat rezeki yang diharapkannya itu akan segera mendatanginya.

Di masa krisis ini, banyak sekali orang yang kehilangan harapan dan stress. Utamanya, stress karena masalah finansial. Seorang family kami pun ada yang mengalami stress karena tuntutan kehidupan yang kian berat. Membelanjakan uang puluhan juta setiap bulan, baik untuk cicilan rumah di perumahan elit, cicilan mobil, biaya sekolah dua orang anak di sekolah ternama, biaya fashion dan gaya hidup, dan biaya-biaya lainnya– dulu mampu dikeluarkannya dengan mudah. Namun sekarang, hal tersebut dirasakannya cukup berat karena sumber keuangan makin tergerus akibat krisis.

Beberapa anggota keluarga menyarankan untuk membuka usaha lain selain usaha yang digelutinya sekarang. Artinya, sumber rezeki harus diperluas dengan membangun sumber penghasilan lainnya, tidak hanya hanya bertumpu pada satu sumber saja. Hal yang disayangkan, dulu mereka sempat memiliki bisnis (suami punya PT sendiri, isteri memiliki 9 kios), namun kini mereka tidak memiliki semua itu dengan alasan karena fokus di bisnis Multi Level Marketing.

Ironis, dulu ia yang banyak mengkuliahi orang, kini banyak meminta masukan dari orang-orang. Dulu ia yang tampil optimis, kini banyak berkeluh kesah. Apa makna semua ini? Barangkali itu adalah teguran dari Allah SWT atas sedikit kesombongan mereka selama ini. Kesombongan bahwa hanya bisnis (MLM)-nya lah yang akan mampu menghantarkannya pada kesuksesan dunia dan menganggap bahwa bisnis selainnya adalah bisnis kecil dan kurang bisa dihandalkan. Apalagi bagi yang tidak memiliki bisnis dan hanya menjadi karyawan biasa. Bagaimana mau menjadi kaya?

Hal sebenarnya yang terjadi, sesungguhnya mereka kehilangan Tuhan mereka. Mereka lupa bahwa rezeki adalah hak prerogatif-Nya. Dan yang sering dilupakan, Allah SWT memberikan rezeki bukan sekedar dengan harta. Dengan keimanan, kemudahan untuk beramal kebaikan, keringanan untuk bersedekah, dan tergeraknya langkah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Jika manusia hanya berpatokan bahwa rezeki adalah harta semata, maka sesungguhnya dia hanya memahami satu simpul dari rezeki. Itu pun tidak sepenuhnya benar karena boleh jadi harta yang diperoleh hanya “sekedar singgah” sebelum sampai ke alamat sesungguhnya.

Banyak hikmah yang bisa saya petik. Aneka kejadian di atas menambah kesadaran saya akan makna rezeki dan simpul-simpulnya. Satu sisi kita harus yakin akan jaminan rezeki, dan pada sisi lainnya kita harus berusaha menjaga keberadaan dari simpul-simpul itu.

Waallahu a’lam bishshawaab.

[email protected]

muhammadrizqon.multiply.com