Menge-Miss- Dunia, Menggadaikan Aqidah?

Bergidik rasanya saat mendengar pemberitaan tentang rencana pelaksanaan ajang Miss World di Indonesia yang bahkan puncaknya akan diadakan di kota hujan, Bogor. Sejurus kemudian, tak ada yang terpikir lagi kecuali ‘semakin lengkaplah hal-hal yang akan melumrahkan azab Allah atas negeri ini’. Dimulai dari hukum yang tak bersumber pada Al Quran dan sunnah RasulNya, penguasa yang tak adil, urusan masyarakat yang diabaikan, maka kini tanah yang dihuni oleh mayoritas muslim ini pun hendak dibasahi dengan maksiat. Maka, belum cukupkah negeri ini mendapat teguran dari pemilikNya? Astaghfirullah.

Tambah lagi, seorang gubernur yang jelas-jelas seorang muslim tapi tak tegas menolak ajang maksiat ini, membuktikan bahwa seorang pemimpin muslim belum tentu tegas menjadikan aqidahnya sebagai landasan untuk menerapkan aturan Islam secara kaffah. Bahkan, adanya upaya untuk mengurangi kontroversi ‘bikini’ dengan penggunaan kebaya (yang dianggap lebih meng-Indonesia), justru menunjukkan bahwa kebenaran semakin ingin ditafsirkan sendiri. Bukankah kesalahan ajang ini tak semata pada bikininya? Bukankah maksiat yang terjadi bukan sekedar masalah bikini? Bahkan tidak adanya bikini bukanlah berarti tidak ada kepornoan. Para peserta tersebut tetap akan tampil berlenggak lenggok di hadapan laki-laki asing, juga dihadapan kamera yang akan menjual gambar-gambarnya sebagai produk pornografi.

Inilah demokrasi, inilah wajahnya. Syariat Allah mudah saja dikesampingkan jika ada keuntungan lain. Inilah sekulerisme, uang dan materi memegang hukum dunia, dan agama sampingkan saja. Astaghfirullah.

Tapi, lihatlah Islam. Islam telah menempatkan perempuan pada posisi mulia, sangat mulia. Menjadi kunci kehormatan sebuah keluarga bahkan sebuah bangsa. Karenanyalah perempuan dihormati, bukan dieksploitasi. Perempuan tidak diletakkan sebagai penambah daya tarik sebuah produk. Perempuan pun bukan pemuas nafsu laki-laki tak beriman dengan mempertontonkan lenggak lenggok tubuh apalagi mempertontonkan auratnya.

Nilai seorang perempuan ditentukan oleh ketakwaannya pada Allah. Ia bersumbangsih bagi kebaikan dan perbaikan masyarakat. Karenanya perempuan yang mulia bukanlah yang paling proporsional ukuran fisiknya, tapi yang alim lagi berilmu, juga yang berdedikasi menyumbangkan waktu, ilmu dan hartanya untuk kemaslahatan masyarakat. Ia adalah ibu-ibu generasi yang melahirkan pemimpin terbaik dengan iman dan ilmunya. Maka, betapa tinggi perempuan dalam Islam. Mengapa tak tinggalkan segera demokrasi?

 

Arini, Mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Semester 8. Email: [email protected]