Mengatur Penerima Zakat

Assalamualaikum,

Ustadz, saya ingin bertanya mengenai pembagian zakat.

Apakah boleh memberikan zakat kita kepada seseorang yang berhak, tetapi kita mengatur / mengarahkan penggunaan uang zakat tersebut? Misalnya kita memberikan uang 1 juta, dari jumlah itu kita mensyaratkan 600 ribu untuk pendidikan anak si penerima zakat tersebut.

Wassalamualaikum.

Waalaikumussalam Wr Wb

Zakat adalah mengeluarkan bagian harta tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai nishob yang telah ditentukan syariat untuk orang tertentu (mustahiq) yang telah ditentukan oleh Pembuat syariat dengan mengharapkan ridho Allah swt.

Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat telah Allah sebutkan didalam firman-Nya :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿٦٠﴾

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah : 60)

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ ﴿١٩﴾

Artinya,”Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz Dzariyat : 19)

Allah swt setelah mensifatkan mereka (orang-orang yang bertakwa) dengan shalatnya kemudian Dia swt mensifatkannya pula dengan zakat, amal kebajikan dan silaturahim. (Taisirul Alaiyyil Qodir Likhtishor Tafsir Ibni Katsir juz IV hal 240)

Sabda Rasulullah saw tatkala mengutus Muadz bin Jabal ra untuk menjadi qodhi di Yaman,”…Sampaikan kepada mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan zakat pada harta benda mereka yang dipungut dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin diantara mereka..” (HR. Jama’ah)

Seorang mustahiq zakat selain termasuk didalam delapan macam mustahiq yang ada didalam surat at Taubah diatas maka ia juga harus memenuhi persyaratan sebagai mustahiq, diantaranya adalah ia haruslah seorang yang sudah baligh, berakal dan merdeka.

  1. Para ulama madzhab Hanafi tidak membolehkan memberikan zakat kepada anak yang masih kecil yang belum genap tujuh tahun, tidak juga kepada orang gila kecuali jika apabila pemberian kepada anak atau orang gila itu dipegang oleh orang yang berhak memegangnya seperti ayahnya, orang yang diwasiatkan dan yang lainnya.
  2. Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa seorang penerima zakat haruslah rasyid yaitu baligh, berakal dan pandai dalam membelanjakan (harta). Tidak dibolehkan memberikan zakat kepada anak kecil, orang gila, safih (orang bodoh) dalam agama seperti orang yang meninggalkan shalat kecuali jika harta itu dipegang oleh walinya dikarenakan kebodohan atau kekurangannya.
  3. Para ulama madzhab Maliki mensyaratkan bahwa orang yang menerima zakat haruslah orang yang baligh dan tidak boleh zakat diberikan kepada orang yang memiliki kelemahan akal.
  4. Para ulama madzhab Hambali membolehkan zakat diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil, baik yang sudah bisa makan atau yang belum bisa makan, orang gila akan tetapi harta itu haruslah dipegang oleh wali dari anak kecil atau orang gila itu, sebagaimana yang diriayatkan oleh Darul Quthni dari Abi Juhaifah berkata,”Rasulullah saw telah mengutus seorang petugas untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya diantara kami dan diberikan kepada orang-orang miskin diantara kami. Pada aat itu aku adalah seorang anak yatim yang tidak memiliki harta maka petugas itu memberikan kepadaku seekor onta muda.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz III hal 1971 – 1972)

Berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa bagian harta yang harus dikeluarkan sebagai zakat adalah bukan lagi menjadi hak muzakki (orang yang wajib zakat) tetapi ia sudah menjadi hak para mustahiq (penerima zakat).

Dengan berpindahnya zakat tersebut dari muzakki kepada mustahiq-nya maka berpindah pula kepemilikannya, sebagaimana hadits shohih tentang hadiah yang diberikan Buraidah kepada Nabi saw dan dikatakan kepada beliau saw,”Daging ini telah disedekahkan pemiliknya kepadanya (Buraidah).’ Beliau saw bersabda,’Daging ini baginya (Buraidah) adalah sedekah sedang bagi kami adalah hadiah.”

Seorang mustahiq—setelah menggenggam zakat muzakki—memiliki hak penuh untuk memperlakukan dan membelanjakannya selama ia memenuhi persayaratan sebagai mustahiq yaitu baligh, berakal dan meredeka. Karena dalam keadaan seperti ini ia memiliki kemampuan yang memadai untuk membelanjakannya tidak seperti seorang anak yang masih kecil, orang gila atau budak.

Untuk itu jika persyaratan yang digantungkan seorang muzakki terhadap harta zakatnya yang diberikan kepada mustahiqnya adalah tidak sah manakala mustahiqnya adalah seorang yang baligh, berakal dan merdeka.

Sedangkan apabila harta itu ditujukan untuk anak kecil, orang gila, atau budak yang tidak memiliki kepandaian didalam membelanjakan hartanya sehingga diberikan kepada wali-wali mereka maka persyaratan tersebut sah, seperti : zakat ini untuk keperluan sekolah anak ini, untuk keperluan kuliah anak anda karena dia orang yang boros, atau untuk menyembuhkan orang gila ini

Dibolehkan pula perkataan seorang muzakki kepada mustahiq zakatnya,”Ini zakat saya sejumlah Rp. 1.000.000,00 maka sisihkan yang Rp.600.000,00 nya untuk pendidikan anak anda yang masih kecil.” dengan syarat bahwa ia mendahuluinya dengan niat didalam hatinya bahwa zakatnya itu dibagi kepada dua orang msutahiq yaitu Rp.400.000,00 adalah untuk ayahnya dan Rp.600.000,00 adalah untuk anaknya yang masih kecil.

Hal tersebut didasari hadits yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Abi Hafshin Umar bin Khottob ra berkata,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dari niatnya, Sesungguhnya bagi setiap hanyalah apa yang ia niatkan.” (HR Bukhori Muslim)

Wallahu A’lam