Banyak Diplomat AS yang Takut Ditugaskan ke Irak

Para diplomat AS ternyata banyak yang enggan ditugaskan ke Irak. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa penugasan ke Irak sama artinya dengan menghadapi "hukuman mati. "

Tak heran kalau sejumlah diplomat AS protes keras rencana pemerintah AS yang akan memaksa para diplomatnya untuk bertugas di Irak. Komentar-komentar bernada emosinal pun mereka lontarkan saat Departemen Luar Negeri AS mengumumkan "calon-calon kuat" para diplomatnya akan ditugaskan di Irak. Deplu AS menegaskan, para diplomat itu harus mau menerima rotasi penugasan selama satu tahun atau menerima resiko kehilangan pekerjaan mereka.

Para diplomat itu juga mengungkapkan kemarahannya pda Direktur Jenderal Deplu AS Harry Thomas, karena berita penugasan itu sudah bocor ke media massa sebelum dibicarakan dulu dengan seluruh diplomat AS di seluruh dunia.

Pekan ini, Deplu AS mengeluarkan surat pemberitahuan bagi sekitar 250 diplomatnya bahwa mereka kemungkinan akan ditugaskan ke Irak, untuk mengisi 50 posisi yang harus diisi oleh para diplomat yang tidak terlalu berkualitas, pada musim panas mendatang.

Para diplomat itu akan ditempatkan di kedutaan besar AS di Baghdad yang berada di benteng "Zona Hijau" atau diikutsertakan dalam tim rekonstruksi Irak yang beranggotakan kalangan sipil dan militer.

"Saya minta maaf, tapi pada dasarnya penugasan itu adalah sebuah hukuman mati yang potensial terjadi dan Anda tahu itu, " kata Jack Crotty, diplomat AS yang hampir pensiun setelah lebih dari 30 tahun bertugas di departemen luar negeri AS.

"Kami tidak bisa memilih ke mana kami pergi. Kami tidak bisa menghindar dari tugas. Kami semua sudah setuju untuk ditempatkan di mana saja di seluruh dunia, " sambung Crotty.

Diplomat lainnya, Liz Campbell mengatakan, orang-orang di kantornya mempertanyakan mengapa mereka baru diberitahu setelah jam kerja berakhir pada hari Jumat. Dan mereka mengaku kecewa karena tahu tentang keputusan ini lebih dulu dari laporan-laporan media massa.

Sementara itu, Harry Thomas mengaku salah karena keputusan itu lebih dulu diberitakan media massa. Meski demikian, seorang diplomat yang pernah bertugas di Irak Rachel Schneller memuji tindakan Thomas. Menurut Rachel, memaksa orang untuk bertugas di Irak merupakan keputusan yang berat, tapi ia mengaku senang saat menjalankan tugasnya di Irak.

"Ini bukan rotasi yang tanpa kesulitan bagi saya, Irak adalah zona perang dan saya kembali dengan tubuh terluka. Saya pulang dengan bekas luka perang dan didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan pascatrauma, saya mendapatkan perawatan untuk menyembuhkan luka itu, " kisah Schneller dengan suara bergetar.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi, tambah Schneller, ia tidak mendapatkan perawatan itu dari departemen luar negeri. "Tapi saya mendapatkan perawatan yang sempurna dari sektor swasta, " katanya sambil tertawa kecil.

"Sekarang Anda melihat kewajiban bertugas di zona-zona perang… Kita punya tanggung jawab moral sebagai agen pemerintah, untuk menjaga dan merawat orang-orang yang telah bersedia menjalankan tugas negara di zona perang… Ketika mereka kembali, " sambung Schneller. (ln/al-araby)