Komunitas Muslim Inggris Tak Setuju Tradisi Perayaan Natal Dihapus

Komunitas Muslim di Inggris menolak wacana yang menginginkan agar perayaan hari Natal di negara-negara Eropa dihapuskan.

Belakangan ini, masalah perayaan hari Natal menjadi topik perdebatan yang hangat di Inggris, sejumlah politisi menyerukan agar perayaan Natal dihapus agar tidak melukai perasaan pemeluk agama minoritas di negeri itu.

Perdebatan ini sebenarnya sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Tahun 2006, sejumlah balai pertemuan di kota-kota di Inggris bahkan mulai mencari referensi dalam ajaran Kristen tentang perayaan Natal. Tahun 1998 kota Birmingham mengganti sebutan perayaan Natal dengan Winterval.

Kali ini, Institute of Public Policy Research yang mengemukakan kembali tentang perlu tidaknya perayaan Natal, sehingga menimbulkan perdebatan di masyarakat. Lembaga yang merupakan salah satu think-tank yang paling sering didengar masukkannya oleh pemerintah Inggris ini menilai bahwa perayaan Natal menjadi "penghalang" bagi upaya persatuan masyarakat Inggris. Laporan lembaga tersebut menyatakan, kelompok etnis dan agama minoritas selama ini dikepung oleh simbol-simbol "budaya dan agama."

Namun organisasi Christian-Muslim Forum yang dibentuk tahun 2006 lalu oleh Rowan Williams dari Keuskupan Centerbury, tidak sepakat dengan pendapat itu. Uskup David Gillet dari Keuskupan Bolton menyatakan yakin bahwa mayoritas pemeluk-pemeluk agama dari berbagai keyakinan tidak keberatan dengan adanya perayaan Natal.

Ketua Christian-Muslim Forum bidang kemasyarakatan Syaikh Ibrahim Mogra juga menyatakan bahwa komunitas Muslim menolak wacana penghapusan tradisi perayaan hari besar keagamaan. "Jika kita mau tetap Natal dirayakan-dan ini akan sulit sekali dihapuskan dari kehidupan masyarakat Inggris meski kita menginginkannya-maka lembaga-lembaga publik juga harus membolehkan perayaan hari keagamaan agama lainnya, " katanya.

Menurut Syaikh Mogra, mayoritas warga Muslim yang jumlahnya mencapai dua juta orang tetap menginginkan semua pemeluk agama di Inggris boleh merayakan hari-hari besar agamanya. "Kami tidak percaya, bahwa kesetaraan bisa dicapai dengan cara mengucilkan salah satu di antaranya, " tukasnya. (ln/iol)