Maroko, Kerahkan Tim Ustadzah untuk Redam Kelompok Islam Radikal

Maroko mulai mengerahkan para da’i perempuan untuk berada di barisan depan dalam upaya negara itu mengatasi persoalan munculnya kelompok Islam ekstrim.

Menurut Direktur pusat pelatihan da’i yang berada di bawah kementerian agama Islam, Muhammad Mafhudh, melibatkan para da’i perempuan untuk membantu mengatasi masalah ini merupakan uji coba yang jarang dilakukan di dunia Islam. Pusat pelatihan itu sendiri, untuk angkatan pertama sudah melatih 50 orang ustadzah untuk menjadi seorang Mursyidah atau ‘pembimbing.’

Mereka menjalani pelatihan selama satu tahun dan selesai pada awal April lalu. Pelatihan yang mereka dapatkan antara lain bagaimana memberikan bimbingan bagi warga Muslim, khususnya yang berada di penjara-penjara, rumah sakit dan sekolah-sekolah. Para Mursyidah ini digaji sebesar 5.000 dirham atau sekitar 560 dollar setiap bulan.

Program Mursyidah ini merupakan ide Raja Maroko, Muhammad IV dan pemerintahnya setelah serangan bom di Casablanca, 16 Mei 2003 yang menewaskan 45 orang dan puluhan lainnya luka-luka.

Setelah serangan itu, aparat kepolisian menangkap lebih dari 2.000 orang yang dicurigai terkait dengan aksi tersebut. Raja Maroko bersumpah, bahwa serangan itu tidak akan pernah terulang lagi di negerinya. Tim penyelidik menyimpulkan bahwa mereka yang berada di balik pengeboman itu, direkrut dari kawasan-kawasan kumuh di sekitar wilayah Casablanca.

Bangga Menjadi Seorang Mursyidah

Samirah Marzuk,30, adalah salah satu da’i yang ikut serta dalam pelatihan itu mengaku bangga bisa menjadi bagian dari tim Mursyidah. Ia dan rekan-rekannya memiliki misi yang sama untuk mengisi celah yang menghambat adanya kerangka kerja yang solid dalam bidang agama.

Tim Mursyidah ini secara khusus akan mengajar anak-anak dan kaum perempuan di perkampungan miskin yang rawan sebagai tempat rekruitmen kelompok ekstrimis.

"Kami akan mengajarkan bahwa Islam itu toleran dengan memfokuskan pada kelas masyarakat yang kurang mampu," ujar Marzuk, yang memiliki latar belakang sarjana muda sastra Arab dan hafal Al-Quran ini.

Ia menyatakan keterlibatannya ini bukan bertujuan untuk menggantikan posisi para Imam. "Keimaman dalam Islam semata-mata dibatasi pada kaum lelaki yang tampil untuk memimpin sholat, khususnya sholat Jumat," kata Marzuk.

Ia menambahkan, tim Mursyidah ini bertugas untuk memimpin diskusi-diskusi keagamaan, memberikan pelajaran tentang Islam dan memberikan dukungan moral pada kelompok masyarakat yang hidup dalam kesusahan serta memberikan bimbingan tentang Islam yang mengajarkan toleransi.

Rekan Marzuk lainnya adalah Laila Faris, sarjana di bidang studi Islam. Wanita periang ini melihat program Mursyidah untuk mempromosikan ‘wajah Islam yang sebenarnya.’

"Kami akan membantu melemahkan aliran-aliran yang mengarah pada ektrimisme," kata Faris. Menurutnya, pendekatan secara menyeluruh harus dilakukan dalam menangani kelompok-kelompok Islam yang radikal.

Untuk itu selama pelatihan, para Mursyidah ini dibekali bukan hanya ilmu-ilmu agama Islam tapi juga ilmu psikologi, sosiologi, komputer, ekonomi, hukum dan manajemen bisnis, kecuali olah raga. (ln/aljz)