Organisasi Bagi Pria yang Dicerai Istri Didirikan di Mesir

Sekelompok pria Mesir telah mendirikan sebuah organisasi untuk memperjuangkan hak-hak laki-laki dan melindungi mereka dari "tirani" wanita – setelah para wanita di negara itu mengambil keuntungan dari undang-undang yang membolehkan mereka untuk menceraikan suami mereka tanpa ada pertanyaan yang diajukan.

Para pria yang diperlakukan secara tidak adil – telah ditinggalkan oleh istri-istri mereka – mereka ingin melindungi diri mereka sendiri dari perlakuan kaum wanita terutama istri-istri mereka yang dengan semena-mena memutuskan dan menyingkirkan mereka, kata Hamed Abdul-Rahman pendiri organisasi dan salah satu anggota yang paling aktif, kepada Al Arabiya.

"Undang-undang perceraian tanpa syarat telah menjadi pedang yang tergantung di atas kepala lpara suami," katanya, sembari menambahkan bahwa saat ini para pria lah yang sekarang memerlukan organisasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka dari tindakan "tirani" para wanita.

Hamed sedang berbicara tentang "Khol’a" atau undang-undang perceraian tanpa syarat, yang disahkan pada tahun 2000 telah memberikan wanita hak untuk bercerai jika para suami melepaskan hak-hak finansialnya.

Sebelum adanya khol’a, sangat sulit bagi seorang wanita untuk diberi perceraian dan ia mesti menyajikan bukti-bukti kuat yang mendukung keinginannya untuk bercerai seperti pelecehan fisik atau perselingkuhan zina.

Organisasi yang bernama "Organisasi Mesir untuk para pria yang dicerai", menolak undang-undang yang menyamaratakan hak antara pria dan wanita untuk mendapatkan hak perceraian, yang hak itu dulunya hanya berlaku untuk para pria.

"Laki-laki telah kehilangan jati dirinya. Di masa lalu, seorang pria selalu berada di atas angin. Sekarang, wanita bertindak sebagai rekan sebayanya. Jika para pria mengancam akan menceraikan istrinya, maka sekarang wanita pun dapat melakukan hal yang sama. Dan bisa jadi para wanita menceraikan suaminya tanpa pengetahuan yang ia miliki."

Organisasi tersebut telah didirikan sehingga para pria dapat menyuarakan penolakan mereka terhadap undang-undang perceraian tanpa syarat dan membuktikan adanya pelanggaran terhadap Syari’ah, atau hukum Islam.

Organisasi ini membanggakan diri karena telah lebih dari 1.000 anggota yang terdaftar, beberapa diantaranya adalah para selibritis. "Banyak anggota kami adalah tokoh masyarakat tapi saya tidak bisa membuka nama-nama mereka yang bergabung. Ada juga beberapa anggota yang berprofesi sebagai dokter, insinyur, pengusaha, aktivis HAM dan lain-lain."

Hamed mencatat bahwa tidak semua anggota harus telah bercerai dengan istri-istri mereka karena banyak dari mereka bergabung dalam mendukung organisasi itu dan sebagai solidaritas dengan para "korban" yang dicerai tanpa syarat.

"Yang paling mencolok di organsasi kami, pada kenyataannya, memiliki anggota perempuan yang bergabung dengan sukarela karena mereka percaya pada peran organisasi dalam melindungi kesatuan keluarga di Mesir."

Hamed berpendapat bahwa menurut statistik resmi seorang pria diceraikan setiap 12 menit dan jumlah total pria yang diceraikan oleh istrinya di Mesir sejauh ini sudah mencapai 12.000.

"Ini menunjukkan bahwa perceraian tanpa syarat tidak lagi dilakukan secara diam-diam dan tanpa pengecualian. Para wanita dengan bangga menceritakan kepada teman-teman mereka bahwa mereka telah menceraikan suami-suami mereka. Undang-undang ini membuat wanita menjadi tirani."

Hamed mengaku istrinya menceraikannya namun ia menekankan bahwa ia tidak malu diceraikan istrinya.

Organisasi ini sudah mulai proses gugatan hukum untuk membatalkan undang-undang perceraian tanpa syarat.

Pengaduan resmi mereka ajukan kepada Darul Iftaa, lembaga yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa keagamaan  al-Azhar dan kementrian agama dan wakaf Mesir untuk membuktikan bahwa undang-undang tersebut tidak menuruti ajaran-ajaran Islam.

Pengaduan lain diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum, Majelis Rakyat, majelis rendah parlemen dan Departemen Kehakiman Mesir untuk menyerukan supaya undang-undang itu dibatalkan.

"Disamping membatalkan undang-undang, inisiatif kami juga bertujuan untuk merehabilitasi kondisi psikologis dan sosial bagi para pria yang diceraikan istri mereka, dan terus terang para pria banyak yang menderita karena undang-undang ini."

"Para pria yang dicerai juga menghadapi banyak kesulitan ketika mereka mencoba untuk memulai hidup baru. Kebanyakan dari mereka ditolak ketika mereka melamar wanita seolah-olah mereka terinfeksi dengan penyakit menular sehingga para wanita dengan tega menolak mereka."

Hamed menolak untuk mengakui bahwa undang-undang perceraian tanpa syarat telah memberikan keadilan kepada wanita yang menderita dalam perkawinan mereka.

"Wanita menggunakan undang-undang ini untuk memuaskan keinginan pribadi mereka dan untuk alasan yang paling sepele. Beberapa kasus bahkan memalukan."

Hamed mengutip dua kasus perceraian tanpa syarat yang dianggap "memalukan," sepasang suami istri harus bercerai- sang istri berumur 90 tahun dan dengan "gagah" menceraikan suaminya setelah 65 tahun pernikahan mereka dan satu kasus lagi si istri berumur 75 tahun. Keduanya pria yang diceraikan tersebut adalah anggota dari organisasi.

"Perceraian tanpa syarat tidak hanya digunakan oleh para wanita muda. Para wanita Lansia pun menceraikan suami-suami mereka."(fq/aby)