Pemimpin oposisi di pengasingan Rasyid Ghannouchi mengatakan kepada FRANCE 24 pada hari Senin kemarin (24/1) bahwa ia berharap untuk bisa kembali ke Tunisia segera, setelah menghabiskan 20 tahun di pengasingannya di London.
Rasyid Ghannouchi, pemimpin gerakan yang juga partai Islam An-Nahdhah, mengatakan Senin kemarin dalam sebuah wawancara dengan FRANCE 24 bahwa dirinya berharap untuk kembali ke Tunisia dalam beberapa hari mendatang setelah menghabiskan 20 tahun di pengasingannya di London.
Gerakan Islam di Tunisia adalah salah satu gerakan oposisi yang paling ditekan di bawah kepemimpinan presiden terguling Zine al-Abidine Ben Ali, yang meninggalkan negara itu awal bulan ini.
Dalam gelombang terakhir unjuk rasa yang mengarah jatuhnya Ben Ali, gerakan Islam Tunisia bisa dikatakan tidak memainkan peran signifikan dalam penggulingan Ben Ali. Namu setelah Ben Ali terguling, pemerintah sementara Tunisia telah memberikan amnesti untuk semua tahanan politik dan partai terlarang, termasuk An-Nahdhah, untuk kembali ke kancah politik.
Ghannouchi mengatakan kepada FRANCE 24 bahwa dirinya akan mengundurkan diri sebagai pemimpin partai An-nahdhah sebagai bagian untuk membuka jalan bagi generasi muda yang berkualitas untuk memimpin gerakan.
Ghannouchi dengan jelas menyatakan bahwa dia tidak ingin menjadi bagian dari pemerintah Tunisia baru. "Bukan rencana saya untuk mengambil jabatan di pemerintah, tapi kami akan memberikan tekanan politik sampai perubahan demokratis secara penuh tercapai."
Bagi Ghannouchi, pemerintah interim saat ini merupakan perpanjangan tangan dari rezim Ben Ali. "Sebagian besar dari petinggi negara dalam pemerintahan sementara adalah orang-orang lama," katanya.
Pimpinan An-Nahdhah ini menyatakan bahwa gerakannya lebih menyukai membuat perakitan khusus yang akan menyusun konstitusi untuk sebuah rezim baru yang benar-benar demokratis.
"Jika konstitusi tidak berubah, seorang diktator baru akan sekali lagi mengambil alih di Tunisia," katanya. (fq/fr24)
