Takut Tertular, Cina Berlakukan Sensor Ketat Terhadap Berita Aksi Massa Mesir

Cina ternyata menerapkan sensor internet untuk menghalangi diskusi online tentang kerusuhan di Mesir dan laporan berita tentang hal itu sebagai tanda kegelisahan pemerintah komunis Beijing bahwa pemberontakan bisa menyulut bahan bakar untuk seruan reformasi di Cina.

Pencarian kata kunci pada kerusuhan Mesir tidak membuahkan hasil pada microblogs Senin ini (31/1) dan fungsi komentar pembaca pada laporan berita tentang Mesir telah dinonaktifkan pada portal utama Cina.

Cakupan berita dari unjuk rasa melawan pemerintahan otoriter 30-tahun Presiden Mesir Hosni Mubarak terbatas pada jumlah kerusuhan yang sebagian besar menyepelekan atas faktor-faktor politik yang mendasari dan seruan untuk reformasi dan demokratisasi Mesir.

Cakupan berita cenderung menekankan adegan pelanggaran hukum di Kairo dan pentingnya untuk memulihkan ketertiban. Berita utama pada Senin tengah hari tidak termasuk rekaman aksi protes jalanan, justru malah menunjukkan pertemuan Mubarak dengan para pejabat.

Cina mempertahankan sensor ketat pada media online dan media tradisionalnya, dengan secara aktif memblokir konten yang menurut mereka dilihat sebagai tantangan potensial untuk melegitimasi penguasa Partai Komunis.

Para pemimpin China telah menghadapi ketidakpuasan publik yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir atas berbagai isu-isu panas politik termasuk laporan berkelanjutan dari pejabat pemerintah yang kasar, kerusakan lingkungan yang berbahaya dan sekarang melonjaknya angka inflasi.

Cina menekan perlawanan etnis dengan tindakan kekerasan di Tibet dan Muslim terutama wilayah Xinjiang Cina barat laut pada tahun 2008 dan 2009, sedangkan peraih Nobel Perdamaian yang dimenangkan oleh penulis pembangkang Liu Xiaobo pada bulan Oktober juga membuat ‘marah’ Beijing.

Reaksi Beijing untuk situasi Mesir mengingatkan kasus serupa yang diberlakukan selama yang disebut "revolusi warna" di Eropa Timur beberapa dekade yang lalu.

Penyensoran konten telah menjadi lebih sulit, dengan adanya ledakan pertumbuhan layanan microblogging seperti Twitter.

Cina memblokir Twitter pada tahun 2009 – setelah pembatasan jasa internet lainnya seperti YouTube dan Facebook – setelah pihak berwenang mengatakan layanan jaringan sosial yang digunakan telah digunakan untuk memanasi kekerasan di Xinjiang.

Namun, beberapa klon Cina telah mengisi kekosongan itu dan berhasil menarik pengikut yang antusias dari populasi besar negara pengguna internet.

Pengguna internet Cina telah menggunakan platform sebagai jalan baru untuk ekspresi massa dalam lanskap media yang dikontrol ketat, tetapi isu-isu kontroversial masih sering diblokir, baik secara langsung oleh pemerintah atau oleh penyedia Internet untuk menghindari gangguan dari pihak berwenang. (fq/afp)