Tokoh Garis Kanan Austria Lecehkan Adzan, Masjid dan Salat

“Suara adzan adalah pedang. Kubah masjid mencerminkan markas tentara. Orang-orang yang shalat adalah personil militernya.” Seperti itulah Heinz Christian Strache, pemimpin Freedom Party Austria garis kanan ekstrim, menggambarkan Islam dan kaum Muslimin. Ia yakin bahwa Islam adalah Fasis abad 21.

Minoritas Islam Austria menggugat Strache untuk mencabut kembali pernyataannya dengan mengkaji kembali banyak buku sejarah yang memuat toleransi tinggi kaum Muslimin terhadap berbagai pemeluk agama lain. Menurut kaum Muslimin Austria, Strache merupakan salah satu orang yang dikenal kerap meniupkan racun kebencian terhadap Islam.

Strache mengungkapkan kata-kata yang melecehkan Islam itu setelah ia kembali terpilih memimpin Freedom Party Austria dengan jumlah suara mutlak. Strache mengatakan, Islam adalah fasis abad 21 dengan anggapan bahwa Islam memandang dunia kemanusiaan sebagai wilayah krisis dan peperangan sampai ideologi Islam bisa memimpin seluruh aspek kehidupan.

Strache juga mengaitkan pernyataannya dengan menafsirkan simbol-simbol Islam dengan perkataan: “Suara azan yang dikumandangkan di tempat ibadah Islam itu maksudnya adalah pedang. Kubah masjid itu adalah simbol markas untuk tentara dan orang-orang yang shalat di dalam masjid itulah tentaranya.”

Ia melanjutkan, “Karenanya tidak aneh jika warga Islam di Austria selalu saja lantang bersuara memanggil, dengan adzan dari masjid yang mempunyai kubah. ”

Terkait para tokoh Islam, Strache mengatakan bahwa mereka menyampaikan pidato untuk membakar semangat perang melawan orang-orang Kristen dan tradisi Eropa. “Sepanjang sejarah perputaran sejarah, Islam jauh dari wilayah pencerahan dan toleransi, ” ujarnya.

Masih menurut Strache, “Perang peradaban telah benar-benar terjadi. Pusatnya adalah agama Islam yang sebenarnya sama sekali tak hanya mewakili sebuah agama, melainkan sebuah sistem sosial, undang-undang yang lengkap yang menghendaki penguasaan penuh atas para pemeluknya. ”

Sementara itu, minoritas Islam di Austria menolak keras perkataan Strache. Mereka meminta Strache membaca kembali buku-buku sejarah khususnya yang berbicara saat keberadaan Islam di Andalusia. Saat itu, Islam membangun pusat peradaban yang luar biasa dan tak ada tandingannya sampai saat ini. Peradaban Islam di kala itu mencakup semua peradaban lintas etnik, tanpa pengistimewaan, tanpa penyingkiran agama negara di atas agama yang lainnya.

Kedatangan Thariq bin Ziyad bersama pasukannya pada 711 M memasuki selat Gibraltar yang terletak di teluk Algeciras, sebagai cikal bakal perkembangan kebudayaan Islam dan kerajaan-kerajaan Islam yang di tanah Andalusia (sekarang Spanyol). Berkat kedatangan Islam di Andalusia, hampir delapan abad lamanya kaum Muslim mengusasi kota-kota penting seperti Toledo, Saragosa, Cordoba, Valencia, Malaga, Seville, Granada dan lain sebagainya, mereka membawa panji-panji ke-Islaman, baik dari segi Ilmu pengetahuan, Kebudayaan, maupun segi Arsitektur bangunan.

Di negeri inilah lahir tokoh-tokoh Muslim ternama yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Agama Islam, Kedokteran, Filsafat, Ilmu Hayat, Ilmu Hisab, Ilmu Hukum, Sastra, Ilmu Alam, Astronomi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dengan segala kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan, kebudayaan serta aspek-aspek ke-Islaman, Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan yang tiada tandingannya setelah Konstantinopel dan Bagdad. (na-str/iol)