Turkistan Timur Dibawah Rezim Komunis China, "Palestina yang Terlupakan"

Sebuah simposium internasional yang membahas situasi terkini di wilayah Uighur digelar di Istanbul, Turki akhir pekan kemarin. Simposium yang dihadiri oleh akademisi, politisi, pemuka masyakarat dan tokoh-tokoh berpengaruh di Turki itu menyerukan agar China membuka wilayah Turkistan Timur bagi dunia dan menghentikan penindasan serta pembatasan terhadap komunitas Muslim Uighur.

Dalam simposium bertajuk "Bebaskan Turkistan Timur", tokoh di Turki, Profesor Doktor Alaeddin Yalcinkaya menyebut Turkistan Timur sebagai "Palestina yang terlupakan".

"Tahun 1948, ketika Israel mendeklarasikan ‘negara Israel’ menjadi awal penjajahan Israel di Palestina. Hal serupa dialami oleh Turkistan Timur ketika dikuasai oleh China komunis. Itulah sebabnya beberapa penulis dan periset menggunakan istilah ‘Palestina yang terlupakan untuk Turkistan Timur’. Bahkan mungkin situasi di Turkistan Timur akan lebih buruk dibandingkan di Palestina, seperti halnya ‘Al-Andalus yang hilang’," papar Yalcinkaya.

Setelah menguasai Turkistan Timur, pemerintah China mengganti nama wilayah itu dengan nama Xinjiang pada tahun 1955. Sebelum dan setelah menguasai Turkistan Timur, kata Yalcinkaya, pemerintah komunis China sudah memberlakukan berbagai kebijakan dan tindakan yang sudah bisa dikatagorikan sebagai genosida terhadap komunitas Muslim Uighur yang mendominasi wilayah itu. Muslim Uighur memiliki kedekatan dengan Turki, karena mereka kebanyakan Muslim keturunan Turki.

Pemerintah China misalnya memberlakukan kebijakan migrasi secara paksa-dengan memindahkan populasi Muslim ke wilayah lain-untuk mengurangi jumlah Muslim Uighur, membatasi penggunaan bahasa Uighur, menerapkan sistem pendidikan China, dwi bahasa, larangan melahirkan dan larangan menunaikan ibadah. Pemerintah China juga kerap menggunakan istilah "radikalisme dan radikal" bersamaan dengan "perang melawan separatisme dan mereka yang melakukan propaganda untuk kelompok separatis."

Atas dasar itu, pemerintah komunis China menganggap semua ulama, mahasiswa yang belajar ilmu agama, guru, imam dan mereka yang akan pergi haji serta mereka yang mengenakan busana muslim, sebagai ancaman yang potensial. Pemerintah China juga melarang kaum Muslimin Uighur berpuasa, pergi ke masjid, belajar dan mengajar agama Islam.

Pengamat di Turki Prof. Dr. Alimcan Inayet mengungkapkan, penyiksaan dan eksekusi yang dilakukan pemerintah China terhadap Muslim Uighur dilakukan secara sistematis. Semua bentuk diskriminasi itu dan penindasan itu, tidak lepas dari ambisi China menguasai Turkistan Timur karena wilayah itu kaya akan sumber alam.

Yang memprihatinkan, pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah China terjadap komunitas Muslim Uighur, seolah luput dari perhatian dunia internasional. Ketua Asosiasi Solidaritas dan Kebudayaan Turkistan Timur yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden Kongres Uighur Dunia, Seyit Tumturk mencontohkan sikap dunia internasional yang membisu saat terjadi pembantaian terhadap Muslim Uighur di Urumqi pada bulan Juni 2009.

Simposium "Bebaskan Turkistan Timur" di Istanbul akhir pekan kemarin, juga mendesak badan-badan internasional seperti PBB, Uni Eropa, Organisasi Konferensi Islam dan negara-negara di dunia untuk berperan secara aktif dalam memulihkan hak-hak rakyat sipil di Turkistan Timur dan mengakhiri ketidakadilan serta tindakan represif China di wilayah itu. (ln/wb)