13 Tahun Tsunami Aceh: “Abi Kami Tunggu di Surga…”

Saat itu saya muntah-muntah karena kambuhan. Saya cuma bisa berbaring di dalam salah-satu kamar kos di lantai dua yang ditinggalkan penghuninya. Ketika saya mencoba keluar dan melihat keluar, saya melihat Juniazi (suami kakak Eva, Elsa) sedang menyusuri jalan utama perumnas satu. Saya berteriak memanggil dia. Ternyata dia sedang mencari anak dan istrinya yang terjebak air di lorong enam.

Sekitar jam 13.30 dia kembali dan berhasil membawa anak istrinya. Saat itu saya mendapat kabar dari Juniazi bahwa dua orang adik kandung saya, Zidni Rahmi (sarjana arsitektur alumni Unsyiah 2004) dan Zakiul Fuadi (mahasiswa teknik elektro letting 2004) telah meninggal dunia.

Pukul 16.30 sore saya mendapat kepastian bahwa isteri dan kedua anak saya juga meninggal dunia. Dari cerita ayah saya yang berada di lorong lima, saat kejadian adik bungsu saya, Zaki, membawa lari anak kembar kedua saya. Zaki saat itu telah lebih duluan berlari keluar dibandingkan anggota keluarga yang lain, sambil terus membopong Imad.

Tapi karena panik, dia hanya berlari saja keluar dari lorong lima tanpa terpikir untuk menaiki satu bangunan bertingkat pun. Karena hampir semua orang saat itu, termasuk Zaki berpikir sangat berbahaya menaiki bangunan bertingkat dalam kondisi baru diguncang gempa, sehingga tidak menyadari bahaya gelombang tsunami yang lebih besar.

Saat itulah datang air deras menyapu dia berdua keponakannya. Berdua mereka terseret arus sampai keujung komplek dekat jalan raya. Arus dari utara ke selatan tersebut akhirnya mentok dengan gunungan mobil, truk tanah dan tangki yang bertimbun di ujung komplek. Arus tersebut berputar dan membelokkan jasad orang-orang menghantam bangunan rumah dan ruko di kiri dan kanan jalan.

Zaki dan anak saya terseret masuk kedalam wartel, dan akhirnya meninggal dunia karena termampatkan dalam ruangan yang sempit. Saat evakuasi jenazah ada sekitar duabelas orang yang meninggal bertumpukakan dalam wartel kecil di Lorong satu. Jenazah adik dan anak saya ditemukan berada di pojokan dinding wartel berpisah sekitar dua meter oleh Budi, salah seorang sahabat saya yang menjadi jamaah Masjid Komplek.

Alhamdulillah, pada hari itu juga semua jenazah keluarga saya ditemukan anak-anak remaja masjid aktivis PKS. Istri dan kedua anak saya ditempatkan dibubungan rumah kepala dusun, zaki ditempatkan pada tumpukan jenazah yang mudah dijangkau di dalam truk yang tersangkut di atas rongsokan kayu setinggi tiga meter depan rumah kepala dusun, sementara jenazah Zidni diletakkan di atas kasur bekas terbawa air, di pinggiran jalan perumnas satu di samping rumah kepala dusun.

Hal ini memudahkan kami dan keluarga melakukan pengambilan jenazah. Kemudian kelimanya dibawa keluarga kami ke Desa Doi Ulee Kareng untuk dimakamkan. Pada saat itu mereka dikuburkan dalam satu liang yang semua jenazah sudah di fardhu-kifayahkan, jumlahnya 21 orang, lima di antaranya anak-anak balita, termasuk anak saya si kembar Jihad dan Imad.

Pada selasa dini hari setelah penguburan, saya bermimpi seolah sedang melayang dan melihat sebuah gerbang yang begitu besar dan megah. Dalam ruangan gerbang itu berdiri kedua anak saya, Jihad dan Imad, mengenakan baju berwarna hijau menyejukkan sambil menenteng ceret dari emas, sementara isteri saya juga ada di sana, berdiri sambil tersenyum seraya memegang pundak kedua anak saya. Mereka semuanya tersenyum ke saya. Senyum yang sangat damai.