Apakah ‘Kejahatan Demokrasi’ Pilpres Bisa Dibawa ke Mahkamah Internasional?

Eramuslim.com – PEMILIHAN Umum 2019 patut dicatat sebagai pemilu terburuk dalam sejarah Republik Indonesia. Selain inkompetensi (lemahnya kadar pengetahuan (knowledge), minimnya pengalaman (skils) dan rusaknya nilai etik dan moral “amoralitas” (attitude) penyelenggara pemilu. Di saat inkompetnesi pelaksana pemilu, penetrasi negara dalam hajatan demokrasi terbesar secara faktual telah merusak esensi fundamental dari demokrasi yaitu pemilu sebagai puncak ekspresi kedaulatan rakyat. Summa potestas, sive summum, sive imperium dominium (pemimpin dipilih karena resultante kedaulatan individu untuk mengelola negara).

Meskipun pemilu 2019 patut disebut sebuah kejahatan demokrasi, apakah para pelaku kejahatan demokrasi bisa diadili di pengadilan internasional di Den Haag Belanda? Dalam tulisan ini saya mesti jelaskan secara jujur dan objektif.

Pada tahun 1994 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Pedoman tentang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pemilihan (United Nation Guidelines on Human Right and Election). Bahwa pelaksaan Pemilu sejatinya adalah momentum terpenting bagi sebuah negara untuk memperbaiki iklim demokrasi dan meningkatkan nilai hak asasi manusia. Prinsip utama yang mesti dicamkan oleh negara dan pelenggara pemlu adalah nilai universalitas yaitu: independensi, egalitarian, pluralitas, objektifitas, imparsialitas, kejujuran dan keadilan.

Kurang lebih ada 7 variabel utama terkait pemilu yang ditegaskan oleh PBB: 1). Hak untuk memilih (right to vote). 2) Hak untuk dipilih (right to take a part of government and Politics). 3) Pelaksaan Pemilu secara jujur dan adil (free and fair elections). 4. Politik uang (money politics). 5. Penyalagunaan kewenangan (abuse of power). 6. Negara dalam keadaan darurat (state in emergencies). 7. Amuk massa (people power).