AS dan Cina Bagi-Bagi Kavling Geo-Ekonomi Indonesia Lewat Bank Dunia dan AIIB

jokowi china pkiEramuslim.com – Kayaknya Pemerintahan Jokowi-JK akan jadi meltingpot tempat bersenyawanya hegemoni global AS-Cina bagi-bagi kavling geo-ekonomi di Indonesia.

Terbetik kabar pada 9 Juni 2016 lalu, Bank Dunia telah menyiapkan sebuah proyek infrastruktur raksasa untuk Indonesia dengan menggandeng mitra baru, yaitu Bank Investasi Infrastruktur Asia(Asian Infrastructure Investment Bank-AIIB). Bank Multilateral yang dibangun oleh RRC.

AIIB yang berdana 50 miliar dolar AS telah memilih empat negara untuk proyek-proyek pertama, termasuk Indonesia. Bank Dunia dan AIIB telah menyetujui proposal utang yang diajukan Pemerintah Indonesia senilai 216,5 juta dolar AS dari Bank Dunia dan 216,5 AS dari AIIB. Sehingga total utang yang akan diterima pemerintah Indonesia berjumlah 433 juta dolar AS, untuk program nasional bulan September dan berakhir pada 31 Maret 2022.

Masuk Jebakan Utang Luar Negeri ala John Perkins
Kabar tersebut sangatlah mengkhawatirkan, mengingat strategi negara-negara asing memaksa para pemipin pemerintahan berutang, sudah jadi modus operandi yang diterapkan Amerika Serikat dan Bank Dunia sejak 1971.

Masih ingat buku kesaksian mantan bandit ekonomi AS John Perkins? Dalam bukunya bertajuk Economic Hitman, John Perkins bersaksi bahwa dirinya pada 1971 ditugaskan ke Indonesia secara rahasia untuk melakukan dua tugas pokok:
Pertama, Perkins harus memastikan negara yang ditanganinya berutang dalam jumlah besar, sehingga utang itu kemudian digunakan untuk membiayai proyek-proyek permesinan dan konstruksi yang dalam penangannya harus melibatkan beberapa korporasi asing seperti Bechtel, Halliburton, Stone and Webster dan Brown and Root.
Kedua, Perkins harus membuat negara yang berutang itu bangkrut, sudah barang tentu setelah utang-utangnya kepada perusahaan-perusahaan AS yang bersangkutan dibayar.

Yang menarik, ketika Perkins membujuk para kepala pemerintahan negara-negara berkembang seperti Indonesia, dirinya harus membuat laporan tentang perkiraaan pertumbuhan ekonomi yang bakal dialami negara bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi yang dikemukakannya harus cukup tinggi sehingga negara yang bersangkutan bersedia untuk berutang atau menerima bantuan keuangan yang ditawarkan.

Alhasil, sang bandit ekonomi macam Perkins, harus mendasari laporan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang dia simpulkan bakal cukup tinggi tersebut dengan bertumpu pada Produk Domestik Bruto (PDB). PDB inilah yang jadi landasan optimisme Perkins bahwa proyek-proyek yang dibangun dengan bantuan hutang luar negeri dan bantuan keuangan tersebut prospeknya cukup bagus.

Padahal sebagaimana kesaksian Perkins dalam bukunya the Economic Hitman, kenaikan PDB di negara-negara berkembang tidak akan memberikan banyak manfaat bagi rakyat banyak. Karena rakyat banyaklah yang kelak akan menanggung beban utang yang diakibatkannya dalam jangka panjang.

Dalam pandangan Perkins yang kemudian bertobat dan membongkar semua kejahatan ekonomi internasional kekuatan-keluatan kapitalis di negaranya, sesungguhnya semua proyek-proyek itu hanya memberi keuntungan bagi perusahaan-perusahaan dari negara-negara pemberi pinjaman.

Masalah krusial yang kerap dikesampingkan oleh para ekonom berhaluan neolib dan pendukung skema Washington Consensus, bahwa untuk membiayai proyek-proyek itu, dipastikan negara-negara yang bersangkutan tidak akan mampu melunasi pinjamannya, sehingga rakyatlah yang harus mengembalikan pinjaman itu dalam jangka panjang.

Sehingga sebagai konsekswensi dari hal itu, untuk membayar utang luar negeri, anggaran yang seharusnya untuk kemaslhatan rakyat, harus dikurangi atau bahkan dicabut. Seperti alokasi anggaran untuk kesehatan, pendidikan dan program-program kesejahteraan sosial lainnya.

Yang membedakan era Perkins ketika berkiprah di Indonesia mendesak pemerintahan Suharto berutang cukup besar pada 1971, dengan apa yang pada 9 Juni 2016 lalu Bank Dunia dan AIIB sepakati untuk memberi pinjaman uang kepada pemerintah Indonesia, adalah fakta bahwa kali ini Amerika Serikat dan RRC berkolaborasi untuk menaklukkan Indonesia melalui sarana ekonomi.

Maka muncullah Sri Mulyani, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, sebagai “Mas Kawin” persekutuan AS-Cina bagi-bagi kavling geo-Ekonomi di Indonesia.

Memahami Hakekat Perang Asimetrik
Ketidakpahaman komponen bangsa akan seluk-beluk perang nir militer atau yang sering saya sebut Perang Asimetris, mengakibatkan ancaman non-militer dan niat buruk kekuatan global itu sulit dideteksi. Ditinjau dari aspek pertahanan-keamanan nasional sudah jelas akibat dari hal itu pada dasarnya membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara.

Bahkan setelah John Perkins mengakui perbuatannya dan mengungkap hal itu melalui bukunya the Economic Hitman, kita masih saja tidak bisa mengenali siapa sebenarnya musuh yang kita hadapi. Apakah negara, apakah perusahaan swasta, atau organisasi siluman (stealth organization) yang punya sumberdaya yang luarbiasa.

Kalau kita mempelajari dan mendalami tentang geopolitik dan konsep Perang Asimetris sebagai Perang Non Militer menaklukkan sebuah bangsa, hal-hal yang disebut konspirasi itu memang nyata adanya. Karena konspirasi ditandai oleh adanya operasi terselubung atau siluman, meskin terkesan dilakukan melalui jalur-jalur resmi pemerintahan dan kenegaraan.

Perang yang semula adu kekuatan militer yang tujuan utamanya mengalahkan dengan cara mengalahkan dan menghancurkan lawan secara fisik, sekarang telah berkembang ruang lingkupnya dengan mengalahkan dan menaklukkan alam pikiran, persepsi, dan kesadaran lawan sedemikian rupa sehingga meskipun lawan sudah kalah perang, tapi pihak yang kalah tidak merasakannya. Perang dalam bentuk yang baru ini, atau Perang Asimetrik, ternyata bisa menimbulkan kerusakan yang terkadang jauh lebih hebat dari Perang Konvensional/Militer.

Abai geopolitik di kalangan para penentu kebijakan strategis di pemerintahan pada perkembangannya mengabaikan modus baru yang dikembangkan oleh kekuatan-kekuatan global dalam menerapkan penjajahan gaya baru di Indonesia. Bahwa Pemerintah dan kekuatan kapitalis asing dalam upayanya menguasai Indonesia seringkali dilakukan melalui upaya menguasai dan mengendalikan legitimasi formal, sehingga tujuan mereka untuk menguasai dan mengeksploitasi bumi Indonesia berikut sumber kekayaan alammnya, dapat dilakukan melalui cara yang sah menurut hukum. Adapun yang dimaksud menguasai legitimasi formal adalah menguasai lembaga pemerintahan dan parlemen/DPR.

Strategi yang ditempuh yaitu dengan mendiktekan substansi kebijakan-kebijakan strategisnya melalui aturan-aturan berkekuatan hukum yang dibuat oleh pemerintah maupun parlemen. Untuk mewujudkan hal itu, langkah pertama yang ditempuh oleh kekuatan-kekuatan asing tersebut adalah, membangun kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang dalam perhitungan dan kalkuasi strategis mereka, mampu mendominasi pemerintah dan parlemen.

Di sinilah sistem plutokrasi sebagai sistem kekuasaan yang ditopang oleh kaum hartawan alias orang-orang yang berkekuatan modal besar kemudian memainkan peran yang sangat penting dalam mengarahkan seluruh kebijakan strategis nasional kita di bidang ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya maupun pertahanan-keamanan.

Pada perkembanganya, kaum plutokrat yang sejatinya merupakan korporasi-korporasi asing maupun lokal, bukan saja berhasil melakukan infiltrasi dan penetrasi ke sektor-sektor strategis kenegaraan baik di cabang eksekutif maupun legislatif, bahkan saat ini sudah kekuatan-kekuatan tersebut sudah menegara.

 

Hendrajit