Era Jokowi: Oligarki Kian Mencengkeram dan Demokrasi Makin Semu (Bag.2, Tamat)

“Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya. Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa dijadikan perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” tulis Sebastian dan kawan-kawan.

Orang-orang kepercayaan Jokowi banyak yang berasal dari kalangan serdadu. Di posisi Kepala Staf Kepresidenan ada mantan Panglima TNI Moeldoko. Posisi Menko Maritim dan Investasi ada Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Kesehatan ada Terawan Agus Putranto.

Ketika pandemi COVID-19 mulai merebak, Jokowi tetap mempertahankan Terawan meski banyak sekali pihak yang mendesak agar dokter militer itu segera diganti. Sedangkan Moeldoko merupakan salah satu dari tiga orang istimewa yang omongannya bisa dianggap mewakili Jokowi. Dan Luhut Binsar Panjaitan, semua orang tahu siapa dia.

Luhut adalah salah satu menteri yang mengenal Jokowi paling lama. Hubungan mereka bukan sebatas pemerintahan, tapi juga bisnis. Luhut mengaku kenal Jokowi sejak 2007. Padahal kala itu Jokowi seharusnya sudah menyerahkan perusahaan mebelnya ke saudara kandungnya.

Pada 2009 nama PT Toba Bara Sejahtra, perusahaan Luhut, tercantum sebagai pemilik saham minoritas di PT Rakabu Sejahtra. Lima tahun kemudian, Luhut selalu menempel dengan Jokowi.

Dia tidak pernah absen dalam pemerintahan Jokowi kendati posisinya terus berganti. Dia pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan; Kepala Staf Kepresidenan; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Perhubungan (Plt); Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; dan, yang paling gres, Menteri Kelautan dan Perikanan (Plt)—sebelum digantikan Syahrul Yasin Limpo. Jokowi juga meminta Luhut menjabat Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Antonius Made Tony Supriatma, menulis makalah berjudul “Jokowi and His Generals: Appeasement and Personal Relations” pada 2019. Dalam tulisannya, Made memandang Jokowi adalah orang yang sangat menghargai kedekatan dan loyalitas, tidak terkecuali pada kelompok militer. Sikap Jokowi ini melanggengkan kebiasaan militer akrab dengan politikus sipil untuk bisa mendapatkan jabatan tertentu.

“Kepemimpinan Jokowi menunjukan kecenderungan ini (bagi jabatan berdasar kedekatan) dan dia menunjuk orang-orang yang dia kenal baik, telah bekerja bersama dia, atau yang terbukti loyal kepadanya,” catat Made Supriatma.

Jokowi menempatkan militer di kekuasaan kemudian menyulap polisi jadi tukang gebuk pemerintah. Ketika mendapat kritik, Jokowi juga sering kali membiarkan polisi mengambil alih.

Setelah Jokowi-Ma’ruf menjabat setahun, hasil jajak pendapat yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan 36 persen responden menganggap Indonesia kurang demokratis.

Sedangkan mereka yang menganggap Indonesia lebih demokratis hanyalah 17,7 persen dari 5.614 responden. Sejak periode pertama, apa yang dilakukan Jokowi, meminjam kata-kata Ben Bland, banyak menjelma sebagai “langkah-langkah mundur seperti pada tahun kepemimpinan Soeharto.”

Di bawah Jokowi pula, pasal karet UU ITE menjadi laku digunakan, terutama oleh politikus. Penggunaan UU ITE untuk menjerat masyarakat sipil sering kali tidak berimbang. Aktivis di era Jokowi sudah merasakan betul bagaimana pasal karet tersebut digunakan untuk membungkam kritik yang mereka lakukan lewat media sosial, tapi tidak digunakan untuk mereka yang melakukan pelanggaran dari kubu pendukung Jokowi.

Misalnya saja mantan dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. Ia diperkarakan karena melakukan orasi sembari bernyanyi mengkritik militer di depan Istana Negara. Robet disangkakan telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan” pada 2019.