Ironi Pembuat RUU HIP Sedang Menggali Liang Kuburnya Sendiri (Bag.1)

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dalam Piagam Jakarta itu terdapat rumusan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kesepakatan ini terjadi setelah adanya lobi dari Bung Hatta kepada kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo karena ada utusan kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang “mengancam” akan memisahkah diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menggunakan frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Pada lobi yang berlangsung di sore hari pada 17 Agustus 1945 sempat terjadi kekhawatiran bila usaha itu akan mengalami kegagalan.

Semua tahu akan sikap keras Ki Bagus Hadikusumo yang menganggap rumusan di Piagam Jakarta sudah final dan merupakan jalan kompromi terbaik. Namun, Hatta tak putus asa. Dia kemudian memilih Kasman Singodimedjo untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo. Penunjukan kepada Kasman dianggap paling tepat karena dia juga merupakan teman dekat dari Ki Bagus Hadikusumo.

Memang pada awalnya Ki Bagus Hadikusumo menolak, bahkan dia merasa dikhianati kepercayaannya. Namun, dia kemudian berhasil dibujuk dengan mengingatkan adanya ancaman pemisahan diri dari beberapa tokoh wilayah  timur Indonesia. Akhirnya, dengan nada yang berat, kemudian Ki Bagus bisa menerimanya dengan memberikan syarat dialah yang menentukan rumusan sila pertama Pancasila setelah tujuh kalimat itu dihapus dari piagam Jakarta.

Diceritakan ketika Ki Bagus mencoret tujuh kata itu dari piagam Jakarta, beliau melakukannya dengan derai air mata.  Mungkin terbayang dalam benaknya bagaimana perjuangan para ulama, syuhada dan para kyai, santri dalam mendorong Indonesia merdeka.

Ki Bagus tidak memilih kata “ketuhanan” saja, tetapi menambahkannya dengan “Yang Maha Esa” atau menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Dengan demikian Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan pada sila pertama yang berdasarkan pada berbagai pertimbangan mengenai sebuah negara kesatuan. Dokumen ini dihasilkan setelah terjadi kompromi antara empat golongan nasionalis dan empat golongan Islam mengenai rumusan dasar negara.

Dengan dicoretnya tujuh kata di Piagam Jakarta maka rumusan Pancasila yang disepakati oleh para tokoh bangsa yang kemudian dimasukkan ke dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dengan dicoretnya tujuh kata dalam piagam Jakarta tersebut sesungguhnya merupakan wujud pengorbanan sekaligus hadiah umat Islam demi Pancasila dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai umat mayoritas, umat Islam bersedia menghilangkan tujuh kata di Piagam Jakarta.

Pencoretan tujuh kata itu memberikan keteladanan tentang toleransi antar umat beragama yang saling menghormati dan saling memberi demi bangsa dan negara. Ki Bagus juga mengajarkan cara memegang prinsip yang teguh prinsip prinsip keimanan yang diyakininya.

Kalau sekarang kemudian ada pihak pihak yang berusaha membentur benturkan Pancasilan dengan agama (Islam), kiranya orang tersebut tidak mengerti sejarah bagaimana Pancasila dilahirkan sehingga sangat disayangkan tentunya.

Pada kemudian hari, yakni 70 tahun kemudian, setelah melalui perjuangan yang alot dan berliku, pada 10 November 2015 kelapangan hati Ki Bagus Hadikusumo tersebut baru mendapat pengakuan yang setimpal dari negara dengan pemberian gelar sebagai pahlawan nasional kepadanya (BERSAMBUNG KE BAGIAN 2)

(Penulis: Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi II DPR RI)