Mengenang Perlawanan Siti Fadilah Supari Galang Dukungan Internasional Terhadap WHO

Kembali ke soal Alamos, ada yang aneh dan misterius. Tak lama setelah Supari menuntut data virus Tanah Karo, laboratorium Los Alamos sudah ditutup dan tidak ada lagi. Menurut kabar yang santer terdengar, penyimpanan data sequencingnya dipindahkan ke dua tempat. Yaitu GISAID dan sebagian ke BHS atau Bio Health Security, suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Kementerian Pertahanan Amerika di Pentagon.

Mengerikan bukan? Karena itu berarti 58 virus H5N1 Indonesia juga tersimpan di sana. Bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos.

Inilah yang mendasari kebijakan Menteri Kesehatan Supari untuk menolak mengirim virus Influenza, dan khususnya H5N1 kepada WHO. Dan sini pula keanehan baru segera terungkap.

“Mengapa yang saya tuntut WHO, kok kemudian yang berhadapan dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat? Tadinya saya heran. Tapi sekarang tidak heran lagi,” tutur Supari.

Dalam analisis Supari, skenarionya kemungkinannya seperti ini: Virus dari affected countries (negara yang tertular) dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi keluarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu.

Dan di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun ada kemungkinan yang jauh lebih mengkahwatirkan: Karena bisa jadi virus tersebut digunakan sebagai bahan untuk membuat senjata kimia/senjata biologis.

Atas dasar fakta-fakta tersebut, Supari dalam kapasitas sebagai Menteri Kesehatan, sejak 20 Desember 2006, memutuskan untuk menghentikan pengiriman specimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO CC, selama mekanismenya masih mengikuti GISN.

Menurut Supari, mekanisme GISN yang imperialistik tersebut harus dirubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan, sehingga negara-negara penderita yang notabene negara berkembang dan miskin, tidak dirugikan seperti sekarang ini.

Maka sejak saat itu pula, gerakan Supari tidak sebatas menyatakan sikap dan pendirian pemerintah terhadap WHO, melainkan melangkah lebih jauh lagi, menggalang dukungan internasional untuk memperjuangkan agendanya tersebut. Berjuang melawan Ketidakadilan WHO.

Perlawanan Supari terhadap WHO, rupanya benar-benar menggetarkan pusat urat syaraf (nerve center) WHO dan berbagai komponen strategis AS yang berada di belakang WHO. Sehingga WHO kemudian menurunkan David Heymann, Asisten Direktur Jenderal WHO yang menangani Flu Burung, untuk mendesak agar Indonesia tetap mengirimkan seasonal vaccine yang menurut Heymannn Indonesia tidak butuh-butuh amat.

Selanjutnya Heymann juga mendesak Menteri Kesehatan agar Indonesia patuh dengan menyetujui dan mengikuti mekanisme GISN dalam mengumpulkan virus H5N1. Dia menjanjikan akan membantu kebutuhan dana dan bantuan teknis kepada Indonesia, asalkan tunduk dan patuh pada mekanisme GISN WHO.

Singkat cerita, Supari dengan tegas menolak, dengan alasan Indonesia sekarang punya agenda sendiri yang berada di luar skema WHO, apalagi yang mengacu pada mekanisme GISN. Karena WHO dalam pandangannya ada kepentingan terselubung di dalamnya.

Maka, pada Sidang World Health Assembly(WHA) Mei 2007, Supari mulai meluaskan gerakannya melawan WHO secara internasional. Dalam Sidang WHA-60 di Komisi A, delegasi Indonesia mengajukan draf resolusi berjudul: Responsible Practices for Sharing Avian Inflluenza Viruses and Resulting Benefits.