SBY, Lanjutkan Atau Hentikan (Tamat)

SBY dan JK bercerai. Itu perkembangan terbaru saat artikel ini ditulis. JK dan Partai Golkar akan mencari koalisi baru, demikian juga dengan Partai Demokrat yang perolehan suaranya mencapai angka sekitar 20% di bawah perolehan suara Partai Golput yang mencapai 40%. Disebabkan undang-undang pemilu tidak menganggap suara Golput, maka capres SBY menjadi “primajaka” yang dilirik oleh banyak partai untuk digandengkan dengan tokohnya sebagai cawapres. PAN kabarnya telah menyediakan Sutrisno Bachir dan Hatta Rajasa, PKS dengan HNW, dan tidak tertutup kemungkinan dengan parpol lain.

Semua tokoh partai politik, dengan bermodalkan perolehan suara dari Pemilu Legislatif 9 April lalu, kini sibuk mencari sekutu untuk bisa memperbesar prosentase kue kekuasaannya di periode lima tahun ke depan. Soal janji kepada rakyat selama kampanye? Itu bisa diatur dan dikompromikan. Inilah akal bulus para politisi. Sebab itu jangan heran jika kemudian Megawati dan Prabowo bisa bergandengan tangan, walau sementara. Padahal visi dan misi keduanya sangat bertolak-belakang. Megawati sudah terbukti gemar menjual aset bangsa ini kepada asing, sedangkan Prabowo dengan Gerindranya kemarin berteriak-teriak untuk mengembalikan kedaulatan dan harga diri bangsa ini di mana salah satunya mengembalikan aset-aset bangsa yang sekarang dikuasai asing kepada Indonesia. Mudah-mudahan saja keduanya pecah kongsi seperti halnya SBY-JK, sehingga masing-masing bisa memperjuangkan interestnya tanpa membingungkan rakyat.

Dalam berbagai survei yang dilakukan banyak lembaga, baik yang independen maupun yang “imanuhum fi proyekihim”, sosok capres SBY ternyata masih menempati urutan teratas, dibanding semua tokoh lainnya. Padahal, selama empat setengah tahun kemarin, saat SBY tengah berkuasa, kinerja pemerintahannya terbukti gagal memenuhi targetnya sendiri. BPS mencatat, di awal pemerintahannya, SBY berjanji akan mengurangi angka kemiskinan sebesar 8.2%. Namun walau jumlah anggaran untuk mengentaskan kemiskinan selalu bertambah tiap tahun (di tahun 2004 dianggarkan Rp 370 riliun dan pada tahun 2008 menjadi lebih dari Rp 1.000 triliun, namun dengan anggaran—baca: dari uang rakyat—segede raksasa itu SBY hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 1.1 juta jiwa penduduk miskin. Anggaran yang naik lebih dari 270% cuma bisa menurunkan 3% penduduk miskin). Ini jelas bukan prestasi!

Salah satu bentuk utak-atik rezim SBY adalah dengan menetapkan (BPS) standar orang miskin di Indonesia. Dalam bulan Maret 2008, BPS menggunakan angka Rp.182.636,- per kapita per bulan, yang berarti pemerintah menganggap mereka yang miskin adalah yang mengeluarkan belanja hanya Rp 6000 per hari, sedangkan yang mengeluarkan belanja Rp 6100 perhari sudah dianggap tidak miskin lagi. Ini sungguh-sungguh mengenaskan, pemerintah seperti ini sama saja dengan pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia dan mengatakan jika bangsa ini harganya cuma segobang sehari! Apakah penguasa macam ini layak dilanjutkan?! Slogan “Berubah” yang didengungkan SBY ternyata artinya adalah perubahan taraf kehidupan bagi para pejabat negara dan kroninya, bukan perubahan rakyat secara menyeluruh.

Hamba Konsensus Washington

Selain itu, dalam kedaulatan politik dan ekonomi, rezim SBY juga payah. Rezim ini sangat jelas menghamba kepada Washington. Bukti yang paling jelas adalah saat penyambutan kedatangan Presiden George Walker Bush ke Bogor, Nopember 2006 lalu. SBY-JK bersikap sangat berlebihan dalam penggelaran keamanan di sekitar Bogor dan rute yang akan dilalui Bush. Salah satunya adalah mau-maunya melanggar UU kelestarian cagar alam Kebun Raya Bogor dengan mencangkuli sebidang tanah berumput dan membangun landasan pesawat helikoter guna dipakai pendaratan Bush yang menurut rencana akan tiba dengan Heli Blackhawak. Namun landasan ini tidak jadi dipakai oleh Bush.

Di sekeliling Istana Bogor, tempat pertemuan, SBY pun memerintahkan agar tentara bersenjata lengkap dengan peluru tajam terisi di magasin (perlengkapan garis tempur pertama) membuat rantai tentara, jadi setiap dua meter berdiri satu tentara menghadap keluar. Ini sungguh-sungguh norak. Ruas jalan utama di kota Bogor pun ditutup menjelang dan selama pertemuan, tanpa mengindahkan kepentingan umum. Kedatangan Bush ini memaparkan kepada kita semua betapa SBY-JK menganggap Bush merupakan The Real Caesar bagi mereka. Amien Rais kala itu menyayangkan sikap berlebihannya SBY-JK dan menyatakan, “Harusnya kita bersikap biasa saja dengan kedatangan Bush, seperti aturan protokoler kenegaraan yang sudah baku, sama sekali tidak bersikap over-protective seperti itu. Toh, Bush datang ke sini di akhir jabatannya, jadi tidak akan mempunyai pengaruh apa-apa kepada Indonesia.” Apalagi Bush datang hanya selama 60 menit.

Sikap menghamba kepada Washington inilah yang menyebabkan Indonesia dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain, bahkan Malaysia yang pernah amat takut dengan Indonesia sewaktu Bung Karno berteriak, “Ganyang Malaysia!!!”, sekarang dengan enaknya menjuluki orang-orang Indonesia sebagai “Indon” yang memiliki arti sebagai budak. Kita sebagai bangsa sekarang ini tidak lagi memiliki harga diri disebabkan para pemimpinnya jatuh ke dalam jurang korupsi, plutokrasi, dan oligarki. Mereka berkuasa semata-mata berniat untuk memperkaya diri, dan bukan untuk mengabdi kepada rakyat dan bangsa ini. Kasus banyaknya caleg yang stress dan gila karena tidak berhasil meraup suara rakyat secara cukup adalah buktinya.

Sebentar lagi kampanye Pemilu Presiden akan dilangsungkan. Rakyat banyak hendaknya sadar dan cerdas untuk mau memilah dan kemudian memilih, capres mana yang kiranya akan mampu membawa bangsa ini ke arah perbaikan, bukan capres yang semata berbicara soal kekuasaan, tapi capres yang lebih banyak bicara soal agenda penting menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran, soal agenda mengembalikan izzah bangsa ini ke depan, soal bagaimana mensejahterakan rakyat, bukan soal haram halal pemilu dan sebagainya.

Sebab itu, tulisan ini akan disambung dengan tema lain yang sangat penting terkait Pemilu Presiden 2009, yakni agenda kerja yang seharusnya dimiliki para capres. Dengan demikian kita bisa melihat mana capres yang benar-benar ingin mensejahterakan rakyat, dan mana capres yang benar-benar ingin mensejahterakan diri sendiri, keluarga, dan kroninya. Mana capres yang Suhartois, dan mana capres yang anti Suharto. Mana capres yang pintar dan mana capres yang bisanya “minteri” rakyat. (Tamat/rd)