Analisis Pakar Semiotika: Ma’ruf Berupaya Tenang dan Menghafal, Sandi Selipkan ‘Kenakalan’

“Hal itu menunjukkan indeks dari sikap memposisikan diri sebagai wakil presiden petahana; meyakinkan bahwa usia bukan persoalan, yang penting adalah tekad perjuangan untuk bangsa. Di sisi lain terepresentasikan karakter yang cenderung mendefinisikan/menyikapi persoalan hanya dari perspektif diri. Bahwa hoaks hanya dilakukan oleh pihak lain, sedangkan pihaknya tidak demikian. Secara politis, hal ini merupakan indeks dari mekanisme ‘menggoreng’ isu,” sambung dia.

Sandiaga Selipkan ‘Kenakalan Politis’

Sementara Sandiaga, yang membuka paparan dengan menyapa Ma’ruf dengan kata ‘abah’, ‘Pak Yai’, dan ‘Pak Kiai’ sekaligus mengucapkan selamat ulang tahun menunjukkan indeks sikap menghormati orang tua. Namun, di situ, Sandiaga juga menyelipkan ‘kenakalan politis’ yang mengidentifikasi dan menegaskan kepada publik bahwa lawan debat jauh lebih tua dari dirinya, lawan debat adalah ‘abah’-nya.

“Sandiaga yang selalu tampak memperhatikan lawan debat dengan wajah tersenyum tipis juga menunjukkan sikap menghormati dan mengapresiasi pihak lain,” katanya.

Berbeda dengan Ma’ruf yang berusaha tenang, cara Sandiaga menyampaikan visi-misi dengan mic lepas mencerminkan ketenangan. Meski terkesan ada teks yang dijadikan hapalan, namun hal itu seolah tertutupi dengan penguasaan yang cukup baik.

Kemudian, sikap duduk Sandiaga juga lebih mencerminkan posisi yang rileks, dimana sesekali ia membuka gadget dan berjalan agak ke tengah panggung saat berbicara. Sandiaga juga tampak selalu mengambil jeda untuk membetulkan jas sebelum bicara.

“Indeks dari sikap tenang dan santai, tetapi tetap serius. Memastikan bahwa sikapnya sudah benar. Sandiaga beberapa kali juga ‘mengibaskan’ tangan kepada pendukung ketika pendukung dianggap melakukan tindakan tidak respek terhadap lawan debatnya. Hal itu menunjukkan sikap kepemimpinan (menunjukkan wibawa ke lingkaran internal) dan pada saat yang sama menunjukkan kesantunan kepada pihak lain,” tuturnya.