Aparat Sita 3,5 Ton Wortel Berbahaya Asal RRC

Eramuslim.com – Bareskrim Mabes Polri berhasil mengungkap penyelundupan bibit wortel ilegal asal RRC yang diduga mengandung racun. Sebanyak 3,5 ton wortel yang diduga mengandung racun tersebut terungkap setelah Tim Mabes Polri menggerebek sebuah gudang di pusat pergudangan Romikalisari Surabaya, beberapa waktu lalu.

Usut punya usut, wortel-wortel itu ternyata dibudidayakan di dataran tinggi Dieng Banjarnegara, Jawa Tengah. Sejumlah petani di desa Sumberejo, Batur Banjarnegara, pun telah diperiksa penyidik.

“Kami ini petani desa tak tahu apa-apa. Tiba-tiba ada masalah kayak gini kami takut,” kata salah seorang petani, Fanani, kepada Rappler dan sejumlah media lain yang menemuinya pada Senin, 28 Agustus 2017.
Fanani mengatakan dirinya dan petani lain di desa tersebut tidak mengetahui sama sekali bibit yang ia tanam adalah ilegal, terlebih diduga mengandung zat berbahaya. Maklum, pengetahuannya dan teman-temannya sesama petani rata-rata berpendidikan rendah.

Ia hanya terbuai dengan bujuk rayu pengusaha yang menjanjikan keuntungan panen tanpa berpikir ada tipu muslihat di baliknya. Fanani mengatakan ada beberapa pengusaha datang dari Surabaya ke desanya menawarkan kerjasama penanaman wortel dengan sistem kontrak pada Maret 2017.

Kontrak menggiurkan

Dalam kontrak tersebut, petani cukup menyediakan lahan. Bibit dan pupuk serta perstisida disediakan cuma-cuma oleh pengusaha tersebut. Yang lebih menggembirakan, pengusaha menjamin akan membeli hasil panen wortel petani dengan harga cukup tinggi, yakni Rp 5 ribu perkilogram.

Selain itu metode penanaman yang ditawarkan juga lebih mudah dan modern. “Bibitnya sudah ditata jaraknya dengan diikat tali yang digulung. Tinggal dibentangkan ke lahan dan ditanam. Lebih mudah dan rapi dari biasanya,” katanya.

Pengusaha tersebut juga meyakinkan hasil produksi akan lebih melimpah dengan perkiraan 75 ton per hektar. Dengan asumsi demikian, petani akan meraup omset Rp 375 juta per hektar jika bisa memenuhi target.

Para petani pun akhirnya tak kuasa menolak tawaran menggiurkan itu. Untuk tahap awal penanaman, petani di desa Sumberejo menyiapkan lahan seluas 5 hektar yang dikelola 5 orang petani. Jika berhasil, petani lain akan mengikuti pada masa tanam berikutnya.

Panen perdana berhasil tercapai. Sebanyak 3,5 ton wortel berhasil dipanen dan dikirim ke Surabaya. Sementara tanaman wortel lainnya juga telah siap panen namun belum sampai dipetik. “Malah ada kejadian ini kami juga jadi bingung,” katanya.

Fanani dan sejumlah petani lain kini bingung terhadap nasib wortel yang masih sekitar 80 persen belum dipanen. Pasalnya, selama penyelidikan, wortel petani yang siap panen dilarang dipetik atau diedarkan.

Padahal, penundaan panen berdampak terhadap memburuknya kualitas wortel di dalam tanah. Petani juga jadi terlambat menanami lahannya dengan tanaman baru karena tanaman lama belum dipanen.

Belum lagi, jika hasil uji laboratorium menunjukkan wortel mereka beracun dan tidak boleh diedarkan atau dimusnahkan. Padahal, petani telah keluar modal besar untuk menanam wortel itu, mulai dari biaya sewa lahan hingga perawatan.

“Sewa lahan satu musim Rp 15 juta, ditambah biaya perawatan dan lainnya. Modal sekitar Rp 35 juta perhektar. Jika wortel kami tidak boleh dijual, kami rugi besar. Apalagi petani hanya mengandalkan pemasukan dari lahan itu,” katanya.