BPK Galau, ‘Raja Utang’ Dikasih Status WTP

Lebih baik, kata Hergun, BPK mengaudit utang-utang tersebut terutama menyelidiki terjadinya SiLPA dalam jumlah yang fantastis tersebut. Karena adanya SiLPA membuktikkan pengelolaan utang pemerintah belum prudent dan terkesan ugal-ugalan.

Sejak 2012, rasio pendapatan negara terhadap belanja negara secara konsisten terus turun. Pada 2012 masih 89,7 persen, kemudian menjadi 84,9 persen, dan dalam dua tahun terakhir ini sudah berada di kisaran 63 persen. Lubang sebesar 37 persen ini jelas memberatkan pemerintah.

“Defisit yang makin lebar ini harus ditutupi, salah satunya melalui penghematan. Namun, saat ini penghematan penggunaan anggaran negara masih belum terlihat. Dalam pembukuan pemerintah pusat, keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan dengan belanja negara, tapi belum memasukkan pembayaran bunga dan pokok utang. Jika keseimbangan primer itu ditambah dengan pembayaran bunga utang, kemudian disebut sebagai neraca anggaran, defisitnya kian dalam,” jelas Hergun.

Dampak utang yang membengkak, negara harus membayar bunga utang mencapai Rp 314,1 triliun pada 2020. Jika beban bunga ini bisa dilakukan negosiasi ulang dan atau restrukturisasi, alangkah lebih baik jika sebagian biaya bunga tersebut dialokasikan untuk memperkuat program perlindungan sosial.

“Saya kira ini yang harus dikejar BPK,” pungkas Hergun. (RMOL)