Gelar Uji Materi UU Penodaan Agama, Massa FUI Kepung MK

Undang-undang No. 1/PNPS/1965 yang selama ini menjadi payung hukum atas penindakan terhadap kegiatan penodaan atau penyelewengan terhadap agama digugat oleh tujuh LSM dan diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi hari ini, Kamis ((4/2/2010). Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) menggelar unjuk rasa dalam rangka mengawal agar MK tidak mengabulkan permohonan penghapusan UU tersebut.

Ketujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengajukan uji materi terhadap UU No. 1/PNPS/1965 adalah IMPARSIAL, ELSAM, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI. Selain tujuh LSM itu, adapula tokoh yang ikut menggugat, yaitu (alm) Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan Maman Imanul Haq. Mereka memberikan kuasa kepada Asfinawati, dkk untuk mengajukan uji materi kepada MK. Ada lima norma yang diajukan untuk uji materi yaitu: pasal 1, pasal 2 ayat (1) dan (2), pasal 3, dan pasal 4. Kelima norma tersebut dikonfrontasikan dengan sembilan norma pada UUD 1945 sebagai alat uji, yaitu: pasal 1 ayat (3), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28E ayat (1), (2) dan (3), pasal 28I ayat (1) dan (2), dan pasal 29 ayat (2). Para pemohon ini meminta kepada MK untuk menyatakan bahwa pasal-pasal yang tertuang dalam UU No.1/PNPS/1965 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.

massa dari FUI memenuhi ruang sidang MK di lantai 2

Sidang yang digelar pada pukul 10.00 WIB di Gedung Mahkamah Konstitusi hari ini mengagendakan mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan pihak terkait (MUI, PP Muhammadiyah, dan PGGI). Menurut pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali, dan Menkumham, Patrialis Akbar, UU No.1/PNPS/1965 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memohon MK agar tidak mengabulkan permohonan para pemohon. Suryadharma Ali menyebutkan, “UU a quo sangat diperlukan keberadaannya guna mewujudkan ketentraman kehidupan harmonis, kerukunan dan toleransi antarumat beragama.”

Lebih lanjut, pemerintah mengungkapkan UU No.1/PNPS/1965 walaupun diterbitkan pada masa darurat, tetap dapat dijadikan payung hukum agar tidak ada yang melakukan tindakan penodaan, penistaan, atau penyelewengan terhadap agama. Sebaliknya, jika UU ini ditiadakan, aparat penegakan hukum akan kehilangan pijakan peraturan untuk menindak para penyeleweng agama tersebut. Dengan demikian, pemerintah menguatkan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan uji materi UU tersebut dan agar MK menolak permohonan tersebut.

massa FUI berorasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat 6.

Di lain pihak, MUI yang hadir sebagai pihak terkait menguatkan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi UU tersebut karena dalam aktivitasnya tidak disebutkan menjalankan kegiatan keagamaan. Oleh karena itu, tidak ada hak-hak konstitusional mereka yang dilanggar oleh UU No.1/PNPS/1965 yang diterbitkan pada masa Presiden Soekarno tersebut.

Sementara itu, di luar ruang sidang, massa dari Forum Umat Islam tampak memadati pelataran Gedung Mahkamah Konstitusi. Mereka yang terdiri dari Laskar Pemuda Islam, GARIS, FPI, dkk, bahkan siap untuk menghadang AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang berada di balik gugatan uji materi UU tersebut.

“Dengan keberadaan UU pencegahan/penodaan/penistaan agama saja saat ini berbagai aliran sesat dan menyimpang masih bisa tumbuh menjamur bagaikan cendawan di musim hujan. Bagaimana bila UU ini dihapuskan??”, begitu tertulis dalam rilis FPI.
Setali tiga uang dengan ormas Islam lain, PP Muhammadiyah juga menegaskan menolak seluruh permohonan para pemohon ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis, teologis, dan yuridis.
“Muhammadiyah berpendapat bahwa kebebasan beragama (religious freedom) bukanlah kebebasan tanpa batas,” ujar PP Muhammadiyah yang diwakili oleh Saleh P. Daulay, Abdul Mu’ti, Muhajir Shodruddin, dan Abu Bakar J. Lamatapo.

Kita tunggu saja, semoga MK dapat memberikan keputusan yang terbaik yaitu dengan menolak permohonan tujuh LSM tersebut yang notebene berpaham liberal supaya tidak menjamur lagi paham-paham sesat di Indonesia. (ind)