Hersubeno Arief: Cukong Ahoker di Balik Pencopotan Baliho?

Kegiatan itu menjadi terkenal ke seluruh dunia, ketika para wartawan ikut bersama pasukan AS menyerbu Irak dalam Perang Teluk.

Masalahnya, penerangan Kodam Jaya juga tidak menyebut jelas identitas si wartawan dan dari media mana.

Spekulasi liar dibiarkan berkembang di tengah publik, dengan berbagai bumbu penyedapnya.

 

Pesan Tidak Jelas

Kegagalan strategi komunikasi politik semacam itu harus jadi pelajaran, terutama bagi instansi pemerintah.

Di era digital, di mana informasi bisa dibuat dan disebar secara bebas oleh semua orang, dampaknya bisa sangat serius.

Apalagi untuk keputusan penting dan sensitif. Bisa berantakan tidak karuan.

Seorang pejabat tidak boleh mengambil sebuah kebijakan, tanpa memikirkan strategi komunikasi politiknya secara matang.

Semuanya harus dirancang secara matang. Ditimbang-timbang plus minusnya. Tidak boleh asal tabrak.

Gaya militer zaman dulu: hajar dulu, urusan belakangan, sudah tidak berlaku.

Satu hal lagi yang perlu dberi catatan, pesan harus jelas, dan tidak boleh berubah-ubah.

Mayjen Dudung sebelumnya mengklaim bahwa pencopotan baliho HRS adalah instruksinya.

Belakangan setelah mendapat serangan dari berbagai kalangan, Istana dan Mabes TNI membantah memberi instruksi. Mayjen Dudung mengatakan pencopotan itu atas permintaan Satpol PP.

Mana yang benar? Publik telanjur tidak percaya karena pesan yang disampaikan Pangdam tidak jelas, dan berubah-ubah.

Orang Minang punya pepatah menarik untuk menggambarkan situasi ini.

“Kato nan dahulu, sabana kato. Kato kudian, kato nan dicari-cari.”

Kata yang diucapkan paling awal, adalah kata sesungguhnya. Kata yang diucapkan kemudian, merupakan dalih yang dicari-cari.

Kasus pencopotan baliho bisa menjadi contoh menarik kegagalan sebuah strategi komunikasi politik.

Banjir karangan bunga malah berubah menjadi banjir caci maki. []

Penulis: Hersubeno Arief