“Kegilaan” Memburu Ulama

Kegilaan bisa ditimbulkan dari aspek yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Bisa karena faktor genetik, bisa pula disebabkan faktor empiris. Atau bisa dimungkinkan karena faktor kedua-duanya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas aspek-aspek yang melatarbelakangi kegilaan.

***

Orang gila tampaknya menjadi monster yang menakutkan, maka perlu “penyekapan”, pasung, dan bahkan pengasingan. Hadirnya seperti tiada, tetapi abai dengan tidak memperlakukannya secara manusiawi adalah bagian dari jatuhnya martabat rasional kemanusiaan sejatuh-jatuhnya.

Di Abad Pertengahan di Eropa, khususnya Prancis sampai masa Revolusi, pertunjukan orang gila dipertontonkan di hari Minggu dengan menarik karcis. Di sebuah lapangan terbuka pertunjukan parade “orang gila”, cukup ramai khalayak yang menyaksikannya. Inilah bentuk penghinaan atas kemanusiaan, dimana orang gila dianggap sama dengan binatang yang ditampilkan di pertunjukan-pertunjukan sirkus.

Pada masyarakat yang ada, di era yang lebih mutakhir, kegilaan bisa muncul kapan saja, muncul dengan sendirinya, karena keadaan-keadaan dirinya yang tidak padu antara tubuh dan pikirannya … Ada juga kegilaan yang sengaja dimunculkan karena tengah dibutuhkan oleh sebab-sebab tertentu. Inilah yang biasa disebut gila jadi-jadian.

Sebagaimana di hari-hari ini, di negeri ini, tepatnya di wilayah Jawa Barat, muncul fenomena kegilaan menyasar pada tokoh agama Islam; Kiai/Ustaz. Tidak persis tahu, kegilaan yang memang apa adanya, atau justru kegilaan jadi-jadian untuk maksud-maksud tertentu.

Maka perlu adanya penelitian yang melibatkan unsur-unsur terkait: Apakah orang gila yang sebenarnya, atau orang gila jadi-jadian yang meneror para tokoh agama Islam itu. Memang tampak absurd, mungkinkah muncul secara masal orang gila di suatu daerah dengan obyek yang diburu adalah Kiai/Ustaz. Karenanya, fenomena orang gila itu disikapi oleh masyarakat dengan sikap kehati-hatian dalam menjaga para ulama di daerahnya dari teror orang gila.