Libur Maulid Digeser, Ulama NU Minta Pemerintah Adil: Agama Lain juga!

Libur Maulid Nabi digeser, tepatkah?

Terkait sikap Pemerintah, ulama NU Syafiq Hasyim menyoroti langkah yang dilakukan Pemerintah. Dia sendiri mengaku tak bermasalah jika libur maulid nabi digeser dari 19 Oktober 2021 menjadi 20 Oktober 2021.

Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, pada dasarnya alasan Pemerintah menggeser hari libur ini masih terbilang masuk akal.

“Pergeseran hari besar keagamaan ini bisa disebut sebagai bagian upaya Pemerintah demi kemaslahatan publik. Sebab tugas Pemerintah memang harus memikirkan agar hal-hal buruk yang akan terjadi pada rakyatnya tak akan terjadi. Dalam Islam, tindakan atau kebijakan pemimpin pada rakyat itu didasarkan pada kebaikan dan maslahah,” kata dia, dikutip saluran Cokro TV, Senin 18 Oktober 2021.

Walau apa yang disorot Cholil Nafis dan Hidayat Nurwahid memang cukup masuk akal, akan tetapi, kata dia, Pemerintah sepertinya memiliki cara pandang lain.

Yakni menghindari keburukan terjadi, di mana bisa jadi kegiatan hari libur ini justru akan mengembalikan keadaan yang sudah mulai membaik jadi memburuk lagi.

Padahal di satu sisi, maulid nabi sendiri merupakan kegiatan yang sudah mendarah daging bagi rakyat Muslim di Indonesia. Selain itu, rangkaian kegiatan itu juga tidak hanya satu hari, namun berlangsung belasan hari.

“Nah, Maulid ini kan sangat meriah di negeri kita. Namun yang perlu kita ingat, maulid tidak terbatas pada hari lahir, makanya Pemerintah kemudian turun mengajak dialog, agar kegiatan selama bulan Maulid ini terjaga. Apalagi Maulid ini sudah berlaku lama dan mengakar.”

Pemerintah diminta konsisten

Di kesempatan itu, Syafiq juga meminta agar Pemerintah tetap konsisten pada apa yang dilakukannya. Yakni bukan hanya berhenti di hari Maulid saja, melainkan di sejumlah kesempatan momen lain, dan berlaku untuk agama lain.

Sebab jika tidak konsisten, maka dikhawatirkan akan ada peningkatan kasus baru.

“Agar tak terjadi kesalahpahaman, Pemerintah harus bisa konsisten dan adil. Sebab hal keagamaan sangat sensitif dan potensial dipolitisasi. Maka itu, terapkan hal setara untuk hari keagamaan lain juga.”

“Kalau ada perbedaan pun harus ada fakta yang logis, kalau tidak maka Pemerintah akan disebut pilih kasih,” katanya. [Hops]