Lima Pangkal Masalah Pertamina Buntung, Penunjukan Ahok Sebagai Komut Salah Satunya

Pangkal persoalan dari meruginya perusahaan minyak plat merah itu dirangkum oleh Marwan ke dalam 5 poin. Pertama, soal beban Pertamina yang harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar 784 juta dolar AS (sekitar Rp 11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan hak mandatory Pertamina.

“Hal yang lebih runyam, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021,” jelasnya.

Kemudian yang kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP), yang asumsinya lebih mahal sekitar 8 dolar AS per barel (di blok Banyu Urip), dan 11 dolar AS per barel (di blok Duri), dibanding ICP crude jenis lain.

Hal ini, kata Marwan, terlihat pada Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan ā€œanomaliā€ atau berarti perbedaan harga masih sama.

“Rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph), sedang lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai ‘kemahalan’ yang harus dibayar Pertamina US$ 302,4 juta, untuk Duri 336,6 juta dolar AS. Sehingga nilai ‘keabnormalan’ harga yang harus dibayar Pertamina 639 juta dolar AS atau sekitar Rp 9,25 triliun,” bebernya.

“Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100 persen produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35 persen total produksi, maka 35 persen dari nilai kemahalan tersebut (Rp 3,24 triliun) malah dinikmati oleh asing Chevron (Duri) dan Exxon (Banyu Urip),” sambungnya.

Pangkal persoalan ketiga yang disebutkan Marwan ialah beban pencitraan politik Pilpres 2019 yang harus ditanggung Pertamina. Hal itu terlihat dari beban perusahaan yang harus terlebih dahulu menanggung biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017 silam.