Lima Pangkal Masalah Pertamina Buntung, Penunjukan Ahok Sebagai Komut Salah Satunya

“Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut adalah Rp 96,5 triliun kompensasi dan Rp 13 triliun subsidi. Sehingga total beban kebijakan populis tersebut adalah Rp 109,5 triliun,” papar Marwan.

“Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat corona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default,” tambahnya.

Karena utang pemerintah ke Pertamina yang sebesar Rp 109,5 triliun tak dilunasi, Marwan mengatakan Pertamina harus menerbitkan surat utang.

Beban surat utang Pertamina sejak 2011, katanya, mencapai 12,5 miliar dolar AS. Khusus untuk 2018-2020, akibat menanggung akumulasi utang pemerintah yang Rp 109,5 triliun di atas, Pertamina setiap tahun harus menerbitkan surat utang sebesar 750 juta dolar AS(2018), 1,5 miliar dolar AS (2019) dan 3 miliar dolar AS (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65 persen hingga 6,5 persen.

“Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah 5,25 miliar dolar AS. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 yang menjadikan Pertamina sapi perah adalah sekitar 210 juta dolar AS atau sekitar Rp 3 triliun,” ungkapnya.

Selain ketiga faktor tersebut, pangkal masalah keempat yang ditanggung Pertamina adalah beban kebijakan lain berupa public service obligation (PSO) atau BBM satu harga, PSO over quota LPG 3kg, pembangunan rumah sakit untuk Covid-19, dan akuisisi perusahaan Maurel & Prom Prancis yang diperkirakan bernuansa moral hazard.

“Sesuai UU BUMN No.19/2003 beban PSO harus ditanggung APBN. Keseluruhan beban kebijakan tersebut dapat mencapai triliunan rupiah juga. Hanya dari 3 kebijakan pemerintah yang diurai di atas yaitu pertama beban keuangan SB Rokan Rp 11,3 triliun, kedua membeli crude domestic Rp 9,25 triliun, dan ketiga biaya bunga akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp 3 tiriliun, Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun,” tandas Marwan.

“Artinya, jika kebijakan sesuai konstitusi, tidak melanggar aturan dan GCG, maka Pertamina masih untung sekitar Rp 23,55 triliun dikurang Rp 11,3 triliun sama dengan Rp 12,25 triliun,” lanjutnya.

Bahkan, di pangkal persoalan yang kelima Marwan menyebut penunjukan penunjukan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) adlaah salah satu yang melanggar aturan.

“Terkait posisi Ahok sebagai Komut yang masih dihujat publik, masalahnya sama, yaitu pemerintah mengangkat Ahok tanpa peduli aturan dan GCG. Ahok diangkat menjadi Komut dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam UU BUMN No.19/2003, Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan Pengangkatan Komisaris BUMN, dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG,” sebut Marwan.

Karena itu, seperti juga sikap publik, IRESS bersikukuh pada sikap semula, Ahok harus segera dilengserkan dari posisi Komut Pertamina,” demikian ditekankan. (Rmol)

BARU!!!Ā  Eramuslim Digest edisi 14, Aslim Taslam,Ā  handbook Dakwah untuk Non Muslim… Pre Order.. Pesan via WA ke 085811922988

https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-buku-baru-eramuslim-digest-14-aslim-taslam-handbook-dakwah-untuk-non-muslim.htm