M. Rizal Fadillah: Penjilat Politik

Dalam politik memang serbabisa. Tetapi di luar kewajaran bila partai yang biasa berlawanan, tiba tiba “all out” mendukung begini. Menjilatkah?

Yang lebih mengenaskan adalah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengusulkan agar varietas anggur yang ditemukan diberi nama “Jan Ethes SP1”, mengambil nama dari cucu Jokowi atau putra Gibran.

Alasannya lucu, lincah, dan lainlah. Anggur kok lucu dan lincah.

Ini kentara sekali jilatan politiknya. Berlomba mendekat kepada Jokowi.

Kita jadi teringat tukang sihir Firaun ketika meminta upah jika menang melawan Musa. Upah tertinggi adalah “dekat” dengan Raja.

Jawaban Firaun “na’am wa innakum idzan laminal muqorrabiin” (benar, sesungguhnya kalian akan menjadi “orang dekat” ku)–QS Asyu’araa 42.

Dekat dengan Raja bisa dapat fasilitas dan banyak prioritas.

Inilah bahaya berlama lama jadi Raja ataupun Presiden. Satu, dua, tiga periode atau seumur hidup. Kultus akan terbentuk.

Firaun sudah sampai tahap Tuhan. Haman (Panglima), Bal’am (Agamawan), dan Qorun (Pengusaha) merasa nyaman berada di dekat Firaun. Mereka menjadi elite yang senantiasa membentengi dan menjilati.

Firaun kuat, mereka merajalela. Ketika Firaun hancur semua ikut hancur. Demikian risiko berada dalam suatu “maqom” rezim.

Nah, kembali kepada para penjilat kekuasaan, sebaiknya menimbang dahulu perasaan masyarakat atau rakyat. Jangan sekadar memikirkan karir dan uang.

Dulu Iwan Fals pernah membuat lirik lagu:
“… Jadi penjilat yang paling tepat. Karirmu cepat uang tentu dapat. Jadilah Durna jangan jadi Bisma. Sebab seorang Durna punya lidah sejuta…”.

Perumpamaan dalam Al Quran adalah hewan anjing yang mengeluarkan air liur dan menjulurkan lidah. Penuh hasrat meski dengan menjilat.

Rosul menyebut pencari muka sebagai “dzal wajhain” pemilik dua wajah. Dan itu adalah seburuk-buruk manusia, “inna min syarrin naas”.

Penjilat politik merupakan makhluk yang hina dina dan tak punya marwah.[end/sumber]

Penulis: M Rizal Fadillah, Aktivis Senior