Mengukur Kesaktian ‘Sihir’ Jokowi dan Strategi Prabowo Subianto

Janji Jokowi pada 2014 banyak yang diingkari. Publik dulu gegap gempita menyambut janji stop impor ala Jokowi. Masyarakat dulu tersihir dengan proyek Esemka sebagai mobnas. Rakyat termehek-mehek dengan ikrar Jokowi yang tak akan menaikkan BBM. Namun, untuk kalangan melek informasi ‘sihir’ itu kini telah memudar.

Kalangan emak-emak yang dulu termakan jargon ‘Jokowi-JK adalah kita’ pun merasa terkhianati. Jualan kedekatan itu kini membuat emak-emak sakit hati. Karena ‘kita’ (sejahtera) ternyata bukan untuk emak-emak, tapi untuk golongan tertentu saja. Mungkin untuk asing, mungkin partai tertentu.

Cinta emak-emak kini telah berpindah ke lain hati. Si ganteng, ramah, dan pengertian lah aktornya. ‘Sihir’ Sandiaga Uno jauh lebih natural dan menyegarkan. Ia terjun ke lapangan begitu natural, tanpa setting lapangan yang berlebihan seperti Jokowi.

Multitalenta yang dimiliki Sandiaga lah yang membuatnya begitu natural. Ia benar-benar berlari, berenang, bersepeda, senam, bermain gitar hingga mengutip ayat dengan benar.

Bandingkan dengan Jokowi yang memaksakan diri untuk bercitra Islami. Sehingga, alfatikhah menjadi alpateka; dan jainuddin yahtirom menjadi jaenudin nachiro. Ke lokasi bencana malah bersesi foto. Menjenguk orang sakit, eh membawa kru lengkap dengan sutradara (pengarah gaya) bak hendak shooting sinetron.

‘Sihir’ Jokowi kini hanya tersisa di kalangan menengah ke bawah, pedesaan, belum tersentuh sosmed, dan suka menonton TV. Beberapa survey pun mengkonfirmasi hal ini. Maklum, semua TV kini dibawah kendali rezim. Mereka lebih banyak dijejali konten Jokowi.

Prabowo, sebagai komandan perang, tentu paham situasi itu. Medan pertempuran yang sesungguhnya adalah mereka yang hanya mendapat informasi dari TV. Debat yang disiarkan TV tentu akan dimanfaatkan maksimal oleh Prabowo.