Mengukur Kesaktian ‘Sihir’ Jokowi dan Strategi Prabowo Subianto

Strategi Prabowo dimulai dari pidato kebangsaan. Ia berpidato dengan garang. Mengkritik dengan tajam. Hampir semua bidang ia bidik, koreksi dan kupas habis. Tanpa sisa, seolah peluru dimuntahkan semuanya.

Ia sadar paling hanya beberapa TV saja yang akan menyiarkan pidatonya. Itu pun tidak mungkin disiarkan secara lengkap, seperti tayangan ‘Visi Presiden’ ala Jokowi yang serempak disirkan TV karena blocking time. Parbowo tahu diri tidak punya cukup dana untuk blocking time.

Bukan banyaknya dan lengkapnya siaran TV yang ia bidik. Prabowo hanya melakukan prakondisi sebelum debat. Ia ingin membuat lawannya baper, dan khawatir akan diserang habis seperti saat pidato kebangsaan.

Dengan kondisi mental lawan yang jatuh, diharapkan lawan gundah gulana menghadapi debat dan akan melakukan mekanisme penyerangan. Upaya Prabowo tampaknya jitu. Air muka Jokowi dan Ma’ruf Amin terlihat tegang memasuki arena debat. Sementara Prabowo-Sandi tampak rileks. Se-rileks melayani selfie Mbak Puan dan Ibu Mega. Penuh senyum yang merekah.

Sepanjang debat Prabowo-Sandi begitu rileks, santun, dan sempat berjoget serta memijit. Sungguh pemandangan diluar dugaan, bahkan oleh timses dan Sandiaga sendiri. Sandiaga mengaku terkejut ketika Prabowo melarang untuk membalas serangan penegakan hukum dan HAM kasus Novel Baswedan.

Amien Rais, timses nomor 02, mengungkapkan kekecewaan secara halus dengan mengatakan “Prabowo tampil terlalu santun.” Lalu, Nanik Deyang, juga timses 02, di status facebook mengaku hanya menghela nafas, ketika usai debat, menanyakan kenapa Prabowo tidak menyerang balik soal partai korupsi. Jawaban Prabowo “Saya tidak tega.”

Benarkah Prabowo tidak tega? Bisa jadi. Namun, dalam konteks meraih simpati pemilih tampaknya bukan itu alasan Prabowo. Ia sedang menjalankan strategi untuk meraih simpati “Pemilih menengah kebawah dari pedesaan yang belum tersentuh internet dan hanya menonton TV.”